Sri Suyanta Harsa
Muhasabah Harian Ke-3671
Ahad, 10 Muharam 1447 H
Bahagia Lantaran Tidak Berpura-pura
Saudaraku, di tengah dunia yang gemerlap oleh keglamoran duniawiyah dan semu oleh kepalsuan ini, kemampuan mensyukuri hidup tanpa berpura-pura adalah anugerah besar dari Allah ta'ala, sekaligus jalan yang lapang menuju kebahagiaan.
Kadang saja kita sudah hidup di zaman di mana pencitraan lebih dihargai ketimbang kejujuran, dimana kepura-puraan sering menjadi jalan pintas untuk mendapatkan pengakuan, padahal sesungguhnya itu semua itu merupakan ilusi yang melelahkan.
Hidup yang jujur, tulus, apa adanya, tidak neko-neko, tanpa rekayasa adalah hidup yang paling aman, paling nyaman, paling lapang, dan paling menenteramkan jiwa. Karena, betapa banyak orang yang tampak "baik-baik saja" di hadapan manusia, namun jiwanya remuk redam oleh kepalsuan yang ia pamerkan. Pura-pura kaya, pura-pura dalam kemewahan, pura-pura peduli, pura-pura sabar, pura-pura senang, dan pura-pura beriman. Semua itu hanyalah topeng yang perlahan menggerogoti ketulusan hati, dan menyesakkan ruang jiwa.
Ya kepura-puraan adalah penjara batin, tempat dimana jiwa terbelenggu oleh kegelisahan dan ketakutan yang tak pernah selesai. Kita sibuk menjaga citra, tapi lalai menjaga hati. Kita sibuk memoles penampilan, tapi lupa membersihkan batin.Padahal Allah tidak menilai rupa dan tampilan lahiriah, tetapi takwa di hati dan amal kita di kehiduoan sehari-hari. Rasulullah ï·º bersabda: Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian.” (HR. Muslim)
Maka, apa gunanya hidup dalam kepura-puraan, jika hati kita tetap gersang, dan hidup kita tetap gelisah Allah SWT pun mengingatkan: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang munafik yang apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud riya’ (pamer) di hadapan manusia, dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142). Inilah puncak kepura-puraan spiritual: tampak baik di hadapan manusia, namun lalai dan kosong di hadapan Allah.
Saudaraku, bahagia itu justru hadir saat kita berani hidup apa adanya. Tak perlu pura-pura kaya, karena Allah tidak menilai seberapa banyak harta kita, tapi seberapa bersih hati kita. Tak perlu pura-pura peduli, karena kepedulian yang dipaksakan hanya menjadi sandiwara yang akhirnya terbaca juga oleh ketulusan orang lain.
Hidup apa adanya bukan berarti pasrah tanpa usaha, tetapi berarti kita jujur pada diri sendiri, jujur di hadapan Allah dan jujur dalam bersikap terhadap sesama. Di situlah letak kemerdekaan hati yang sejati, sebab hati yang jujur, tulus, dan ikhlas, adalah hati yang ringan, lapang, dan penuh ketenangan.
Saudaraku, bahagia itu bukan ketika kita berhasil memoles citra, tetapi ketika kita berhasil memoles akhlak. Bukan saat kita sibuk menjaga penampilan di mata manusia, tetapi saat kita sibuk memperbaiki diri di hadapan Allah. Bahagia adalah ketika kita bisa berjalan ringan tanpa topeng, hidup dengan ketulusan, berinteraksi dengan kejujuran, dan beribadah dengan keikhlasan.
Allah SWT berjanji: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka akan diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanan mereka. Di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh kenikmatan.” (QS. Yunus: 9)
Inilah buah dari hidup jujur dan tulus: hati dituntun Allah, jalan hidup dimudahkan, dan kelak, kebahagiaan abadi di surga menjadi ganjarannya.
Saudaraku, mensyukuri anugerah hidup apa adanya ini merupakan sikap yang bijak, kita rawat kejujuran hati, kita jaga ketulusan sikap, agar hidup kita semakin ringan, karena kita berani meninggalkan kepura-puraan.Semoga Allah senantiasa menjaga hati kita tetap tulus, hidup kita tetap jujur, dan langkah kita tetap lurus, hingga bahagia sejati benar-benar hadir, di dunia maupun di akhirat. Aamiin
Tags:
Muhasanah Harian Ke-3671