Sri Suyanta Harsa
Muhasabah Harian Ke-3674 Serial Hijrah
Rabu, Ayyamul Bidh Ke-1, 13 Muharam 1447
Bahagia Lantaran Memenuhi Janji
Saudaraku, di antara nilai agung yang menjadi cermin dari keluhuran iman dan kemuliaan akhlak adalah menepati janji. Tentu janji bukan hanya sekadar kata-kata, melainkan ikatan moral dan komitmen spiritual yang menyambungkan antara hamba dan Allah ta'ala, antara manusia dengan Tuhan, dan antara manusia dengan sesamanya.
Malah sejatinya, kita hidup juga dalam jaringan janji. Jauh sebelum ruh ditiupkan ke dalam jasad, sejak kita membuka mata dan mengenal dunia, sejatinya kita mengikat komitmen demi komitmen dalam relasi sosial dan spiritual. Ya semuanya berpangkal pada satu kata, yakni janji. Nah di antara jalan meraih bahagia itu adalah ketika kita bisa memenuhi janji, karena janji yang dipenuhi akan melahirkan kepercayaan, dan kepercayaan adalah jembatan bagi ketenangan jiwa.
Pertama, kita pernah berjanji kepada Allah dengan apa yang sering disebut dengan perjanjian primordial, komitmen yang kita ikrarkan jauh sebelum hadir ke dunia ini, sebagaimana firman-Nya: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.'” (QS. Al-A'raf: 172)
Janji ini, janji fitrah, menjadi dasar dari keberislaman kita. Memenuhinya berarti kita hidup dalam Islam, merengkuh tauhid,
menjauhi syirik, dan hanya mengabdi kepada Allah semata. Inilah mengapa beragama Islam (ber al-din yang akar katanya dain juga bermakna hutang) sejatinya kita sedang membayar hutang atas janji yang sudah kita ikrarkan di alam dzuriyat.
Kedua, kita juga "berjanji" kepada Rasulullah ï·º, untuk taat terhadap ajarannya, menjadikan sunnahnya sebagai pedoman hidup, dan menjunjung akhlak beliau seraya meneladaninya. Sebagaimana firman Allah: "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS. Al-Hasyr: 7)
Ketiga, kita "berjanji" kepada orang tua, meski tidak kita ucapkan dengan bahasa verbal tapi mewujud dalam bahasa cinta, kita wajib berbakti, menghormati, merawatnya di masa tua, sebagaimana dulu mereka merawat kita dengan penuh kasih sayang. Tidak ada balasan yang sepadan bagi cinta orang tua, selain memenuhi "janji-janji" kebaikan kepada mereka.
Keempat, janji dengan pasangan dimana dalam pernikahan, kita berjanji di hadapan Allah dan saksi, saat mengucap ijab-qabul. Janji untuk setia, saling saling asah, asih, dan asuh, untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Janji itu bukan sebatas formalitas syariat, tetapi ikatan yang harus dirawat dipenuhi dengan cinta, kesetiaan, kesabaran, dan tanggung jawab.
Kelima, kita juga "berjanji" kepada anak-anak kita, bahwa kita akan membimbing mereka, mendidik mereka dengan baik, mewariskan kepada mereka hak atas ilmu, kasih sayang, dan teladan hidup. Mereka adalah amanah, bukan sekadar titipan.
Keenam, kita berjanji kepada negara dan institusi tempat kita bekerja dalam bentuk sumpah setia untuk setia dalam menjalankan tugas, jujur dalam tanggung jawab, dan tidak menyalahgunakan kepercayaan. Menepati janji kerja adalah bagian dari integritas sebagai warga dan abdi negara.
Ketujuh, kita berjanji kepada sesama, baik dalam bentuk lisan, tulisan, atau kesepakatan sosial. Setiap janji adalah hutang moral, dan hanya akan melahirkan kebahagiaan bila dipenuhi dengan ketulusan.
Saudaraku, kemungkinan ada di antara kita yang masih abai terhadap janji tentu perlu hijrah, berpindah dari kelalaian menuju kesadaran. Hijrah dari kemudahan mengumbar janji kepada kedisiplinan dalam menepati janji. Hijrah dari kata-kata manis tanpa tanggung jawab menuju akhlak yang tulus dan terpercaya. Rasulullah ï·º dalam sabdanya memberi peringatan keras: "Tanda-tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia khianati dan apabila dipercaya dia khianat." (HR. Bukhari dan Muslim)
Mengapa ngeri? Karena balasan bagi orang-orang munafik adalah siksa yang amat pedih menempati neraka yang paling bawah menjadi kerak neraka. Betapa ngerinya bila seseorang mengingkari janji, bukan hanya berdosa secara moral, tetapi berpotensi digolongkan dalam golongan yang munafik.
Saudaraku, janji adalah amanah. Dan menunaikannya adalah ciri dari hamba yang jujur, yang berintegritas, dan yang beriman sejati. Allah SWT berfirman, "Dan tepatilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya."(QS. Al-Isra’: 34) Dan "Sesungguhnya orang-orang yang menepati janji mereka dan bertakwa, sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali Imran: 76)
Saudaraku, bahagia itu hadir saat kita bisa tidur dengan tenang, karena tak ada janji yang kita khianati, tak ada komitmen yang kita abaikan, dan tak ada hati yang kita sakiti. Bahagia adalah ketika janji-janji yang kita ikrarkan, kita tunaikan dengan keikhlasan, karena kita sadar, bahwa janji bukan sekadar pada manusia, tetapi juga kepada Allah yang Maha Menyaksikan. Semoga kita termasuk orang-orang yang jujur, teguh dalam menepati janji, dan bahagia dengan janji-janji yang kita penuhi, baik di dunia maupun kelak di hadapan-Nya. Aamiin
Tags:
Muhasabah Harian Ke-3674