Sri Suyanta Harsa
Muhasabah Harian Ke-3675 Serial Hijrah
Kamis, Ayyamul Bidh Ke-2, 14 Muharam 1447
Bahagia Lantaran Bisa Memberi
Saudaraku, di tengah arus dunia yang bisa saja cenderung menuntut, menadah, dan berharap menerima, kita justru bisa menemukan kebahagiaan yang kerap dirasa, yakni saat diberi kemampuan oleh Allah untuk memberi. Bukan karena kita lebih kaya dari yang lain, tetapi karena Allah masih mempercayakan kita sebagai perantara karuniaNya dan kebaikan bagi sesama.
Memberi bukan semata soal harta atau benda semata, tetapi juga bisa dalam bentuk waktu, tenaga, ilmu, senyum, apresiasi, saran masukan, perhatian, atau bahkan sekadar doa yang tulus. Dan setiap pemberian yang lahir dari ketukusan niat dan keikhlasan hati tetap menjadi cahaya yang menerangi laksana purnama malam ini atau mentari sebentar lagi, menerangi hidup dan kehidupan di muka bumi.
Rasulullah ï·º mengajarkan kepada kita sebuah prinsip agung bahwa “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ajaran ini sungguh sarat makna. Bahwa tangan di atas adalah tangan yang memberi, tangan yang mampu berbagi, tangan yang ringan bersedekah, tangan yang mulia karena senantiasa merahmati sesama. Sedangkan tangan di bawah, adalah simbol ketergantungan, yang hanya menanti uluran, dan tak kuasa berdiri sendiri.
Di sini terdapat nilai yang perlu digarisbawahi bahwa kemampuan menjadi tangan di atas bukan berarti karena sombong atau sedang dalam pencitraan, bukan pula merasa lebih mulia dari penerima. Justru orang yang memberi dengan hati yang tawadhuk, itulah orang yang benar-benar memahami makna ikhlas dan pengabdian.
Apalagi, memberi itu merupakan bentuk konkret dari rasa syukur. Karena sejatinya kita tidak benar-benar memiliki apa pun di dunia ini, kecuali titipan, yakni apa yang telah Allah amanahkan kepada kita. Harta, keluarga, waktu, ilmu, bahkan jabatan semuanya amanah yang bisa sewaktu-waktu diambil dan atau meninggalkan kita atau kita yang meninggalkannya. Maka memberi adalah wujud penghargaan atas amanah itu, sekaligus bentuk permohonan agar Allah meridhai kita sebagai wasilah kebaikan-Nya. Firman Allah SWT: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)
Saudaraku, jika selama ini kita masih enggan memberi, masih perhitungan, masih merasa kekurangan, maka inilah saatnya kita hijrah dari rasa takut kehilangan kepada keyakinan bahwa memberi tidak akan mengurangi. Karena justru dalam memberi ada keberkahan, dalam memberi ada kelapangan, dalam memberi ada keabadian. “Sedekah tidak akan mengurangi harta.” (HR. Muslim)
Bahkan, di saat kita memberi dalam keadaan sulit sekalipun, di situlah nilai kemuliaannya menjadi berganda. Dan menjadi media meraih bahagia. Karena, bahagia itu hadir saat kita menyadari, bahwa tangan ini bisa menjadi jalan rezeki bagi orang lain, bahwa lisan ini bisa menjadi penyejuk, dan hati ini bisa menjadi tumpuan harapan bagi yang lemah. Bahagia adalah saat kita menjadi bagian dari solusi, bukan beban. Saat kita bisa berbagi, bukan hanya berharap diberi. Saat kita mampu mengulurkan tangan,
bukan hanya menadahkan tangan.
Semoga Allah senantiasa menjadikan kita hamba-hamba yang ringan dalam memberi, lapang dada dalam berbagi, dan diberi kecukupan oleh-Nya di dunia dan akhirat, karena kita telah memilih menjadi tangan di atas yang memberi dengan cinta dan keikhlasan. Aamii
Tags:
Muhasabah Harian Ke-3675