Sri Suyanta Harsa
Muhasabah Harian Ke-3676 Serial Hijrah
Jumat, Punca Ayyamul Bidh Ke-3, 15 Muharam 1447
Bahagia Lantaran Bisa Melayani
Saudaraku, hidup dalam era modern yang sarat dengan hasrat dilayani, kekuasaan seringkali dijadikan alat untuk menguasai bukan mengayomi, untuk memerintah bukan untuk melayani. Padahal, idealitas dalam pandangan Islam yang luhur, pelayanan kepada sesama merupakan inti dari kepemimpinan yang sejati, dan dari padanya memvasilitasi lahirnya kebahagiaan yang hakiki. Rasulullah ﷺ bersabda: Sayyidul qaum khādimuhum”, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR. Abu Nu’aim dan Al-Baihaqi)
Inilah doktrin agung yang diwariskan oleh Nabi, yang menggugurkan ilusi bahwa jabatan adalah kehormatan pribadi. Idealnya justru sebaliknya, jabatan adalah ladang pengabdian, dan sarana untuk berkhidmat kepada umat. Maka siapa pun yang diberi amanah sekecil apa pun itu, hendaknya menjalani peran sebagai "pelayan", bukan tuan. Bila ini nyata, maka rasa bahagia menjadi niscaya.
Lihatlah Arab Saudi "melayani" para dhuyufurrahman, para tamu Allah, peziarah yang datang beribadah ke tanah suci. Juga para pengurus masjid melayani jamaah. Tuan rumah melayani tetamunya. Ya melayani secara "maksimal" dan tulus. Dan dengannya memvasilitasi rasa bahagia.
Jafj, bahagia itu di antaranya bisa tumbuh kembang saat berkemampuan atau diberi amanah sebagai kehormatan untuk melayani orang lain dengan ikhlas, tanpa pamrih, dan tanpa merasa superioritas. Siapa saja yang bisa melayani melayani dengan tulus, maka sejatinya ia sedang menjalankan peran sebagai "tangan" Allah dalam memudahkan urusan hamba-Nya.
Coba bayangkan betapa indahnya: Presiden yang "melayani" rakyatnya, bukan menguasainya; Pimpinan yang melayani bawahannya, bukan menindasnya; Anggota dewan yang melayani aspirasi masyarakat, bukan memperdagangkannya; Orang tua yang melayani anak-anaknya, bukan hanya menyuruh dan mengatur tanpa cinta; Guru dan dosen yang melayani peserta didik dengan hati dan ilmu, bukan sekadar menyampaikan materi yang memberati. Dokter yang melayani pasien dengan kasih sayang, bukan hanya dengan resep atau rujukan ke mana-mana; Pelayan toko, pramusaji, pramugari, pemandu wisata—semua yang bekerja dalam sektor jasa sejatinya sedang melayani pelanggannya. Mereka menunaikan ibadah profesional bila diniatkan karena Allah. Dan “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad)
Tentu, di balik pelayanan yang ikhlas, terdapat jiwa yang lapang dan hati yang tenang. Karena memberi, membantu, dan melayani bukanlah bentuk kelemahan, tetapi ketinggian akhlak dan kematangan ruhani. Bukankah tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah? "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah." (HR. Bukhari dan Muslim) jadi, melayani berarti menjadi tangan di atas, yang rela memberi dan meringankan, bukan tangan di bawah yang menuntut dan menadah.
Oleh karena itu, bagi kita yang selama ini masih merasa berat untuk melayani, lebih nyaman diperhatikan daripada memperhatikan, lebih suka memerintah daripada membantu, maka ini saatnya hijrah. Ya, hijrah dari budaya dilayani menuju semangat melayani, hijrah dari ego pribadi menuju jiwa pengabdian, hijrah dari keakuan menuju ketulusan. “Barangsiapa yang memudahkan urusan saudaranya, maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
Saudaraku, bahagia sering tumbuh dari pelayanan yang rendah hati, dari khidmat yang tak terlihat, dan dari pengabdian yang tidak banyak dipuji. Ya, ketika kita melayani bukan karena ingin dihormati, tapi karena kita ingin menjadi perpanjangan tangan kasih Allah di tengah kehidupan manusia. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk terus melayani dengan cinta, mengabdi dengan ikhlas, dan menjadikan setiap peran hidup sebagai wasilah kebaikan yang mendekatkan kita kepada ridha dan surga-Nya. Aamiin
Tags:
Muhasabah Harian Ke-3676