Sri Suyanta Harsa
Muhasabah Harian Ke-3488
Kamis, 2 Rajab 1446
Membiasakan Shalat
Saudaraku, ada ungkapan yang amat populis bunyinya "alah bisa karena biasa". Malah di Jawa ada ungkapan sejenis yang maknanya lebih dahsyat lagi yakni "witing trisno jalaran soko kulino", hadirnya rasa cinta lantaran karena terbiasa. Jadi pembiasaan itu merupakan strategi penting dalam pembinaan akhlaq al-karimah, dan amat signifikan dalam pembinaan ibadah; sangat baik dalam mendidikkan shalat pada anak. Melalui pembiasaan, shalat yang tadinya terasa terpaksa, akan berubah menjadi suatu kewajiban. Dari kewajiban akan mengantarkannya pada kebutuhan. Dan dari kebutuhan akan memvasilitasinya menjadi kelezatan. Agar cinta shalat, maka perlu pembiasaan yang istikamah.
Pada awalnya, bisa jadi anak-anak (didik) kita merasa berat untuk mengerjakan shalat, bahkan mungkin merasa terpaksa atau "dipaksa". Padahal kita sebagai orang tua (baca juga guru, dosen, teingku, kyai) sudah memberi teladan dengan mengerjakan shalat secara istikamah, bahkan berjamaah untuk shalat fardhu, bahkan juga memberi teladan mengerjakan shalat-shalat sunat yang disyariatkan (shalat tahajud, rawatib, dhuha). Dan anak-anak kita pun tahu dan menyaksikan dalam keseharian akan hal itu. Di samping itu, ajakan persuasif juga sudah harus selalu disampaikan kepada anak-anak kita.
Ya, kita bisa mengerti, tetapi meskipun anak-anak merasa berat dan terpaksa, shalat harus tetap dikerjakan. Kitapun harus berikhtiar juga berdoa untuk memastikan bahwa anak-anak kita shalat. Seiring dengan pemahaman tentang agama dan kewajibannya serta pembiasaan yang terus menerus dilakukan (mendawamkan shalat), yakinlah bahwa lama kelamaan mengerjakan shalat menjadi tidak akan berat lagi. Anak-anak kita akan merasa bahwa shalat adalah kewajiban dirinya sebagai orang Islam kepada Allah Rabbnya. Pada fase ini, anak-anak kita sudah tidak harus disuruh-suruh lagi untuk shalat. Tetapi atas kesadarannya sendiri bahwa shalat harus dikerjakan dan tak boleh ditinggalkan.
Bila anak-anak kita sudah sampai pada kesadarannya bahwa shalat adalah kewajiban, maka kita pun sudah lega. Mungkin saja kita juga masih dalam posisi ini. Tetapi dengan pemahaman yang terus bertambah terhadap ajaran Islam, amal shalih yang semakin meningkat, dan imanpun bertambah-tambah, semestinya shalat sudah tidak menjadi sekedar kewajiban saja tetapi sudah menjadi sebuah kebutuhan. Artinya shalat itu merupakan kebutuhan diri kita dan untuk diri kita, sebagaimana makanan dan minuman yang dibutuhkan oleh fisik kita. Oleh karena itu, shalat menjadi agenda utama dalam hidup keseharian kita, bahkan semua aktivitas dan agenda lainnya mestinya menyesuaikan dan atau mendukung pemaknaan shalat yang menjadi agenda utama tadi.
Bila pemenuhan kebutuhan terhadap shalat dapat istikamah dilakukan, maka pada saatnya nanti shalat akan menjadi moment ibadah yang ditunggu-dirindukan, karena ia sudah dirasakan sebagai kelezatan. Dalam shalat, seorang hamba akan trenyuh, asyik mansyuk, dan larut dalam aura keilahiyahan. Orang-orang yang sudah meraih dan merasakannya manisnya iman seperti merasakan lazatnya shalat seperti ini, maka sudah bersiap di Masjid dan atau di atas sajadah jauuuh sebelum adzan dikumandangkan, tetap beriktikaf bakda shalat magrib hingga pelaksanaan shalat isya dan merindu kapan shalat dikerjakan. Begitu juga jauh sebelum waktu subuh, sudah larut dalam aura keilahiyahan melalui qiyamul lail. Subhanallah, semoga kita mampu meraih kelazatan shalat dan mampu mewariskannya pada anak-anak (didik) kita. Aamiin
Tags:
Muhasabah Harian Ke-3488