Sri Suyanta Harsa
Muhasabah Harian Ke-3487
Rabu, 1 Rajab 1446
Mendidik Anak Shalat
Saudaraku, mengawali aktivitas di bulan Rajab 1446 hijriyah ini, halaqah muhasabah akan mengulang kembali tentang shalat dan yang berkaitan dengannya terutama dalam mendidikkannya kepada anak-anak kita. Saya sebut saja "kurikulum shalat" ini mestinya menjadi di antara pilar utama dalam berislam yang harus sudah dididikkan, sudah dibiasakan sejak mula sekali.
Lalu, kapan kita mulai mendidikkan shalat pada anak? Ya, tentu sejak sedini mungkin, bahkan selagi anak masih di kandungan ibundanya. Pada fase ini orangtua, baik calon ayah maupun apalagi calon ibunya harus benar-benar menyadari bahwa anak meskipun masih di alam kandungan sudah bisa menerima "pengaruh" dari luar terutama perilaku ibu yang mengandungnya dan bapak yang "mengukirnya". Bahkan menurut para pakar, janin di dalam kandungan ibundanya sudah bisa mendengar sejak 16 pekan. Ya alat pendengarannya sudah berfungsi. Oleh karenanya orangtuanya sebaiknya berperilaku yang baik, bertutur kata yang baik dan sering-sering menyertakan dia dalam aktivitas bermakna yang dilakukannya. Tentu dalam hal ini tetutama ketika orangtuanya mau wudhuk sebaiknya melafalkan mengajak anaknya untuk berwudhuk. "Anakku - ibunya sambil mengelus perutnya - ayo kita ambil air sembahyang ya! Begitu juga mau mengerjakan apapun yang bermanfaat bagi diri, keluarga dan agamanya. "Anakku ayo kita shalat tahajud ya!, "Kita subuhan berjamaah sama ayah ya". " Nsh, kini kita berdoa bersama ya"; ,Ayo kita teruskan tilawah Qur'an ya", "Ayo menyapu ya! Mencuci ya! Bekerja ya!, menulis ya? ... dan seterusnya. Nah, nanti suatu saat, kadang anak kita nendang-nendang, maka bisa elus-elus bisa sambil menyspa "oh oh sayangku lagi berenang gaya lumba-lumba ya, tapi jangan kencang-kencang ya, mama terkejut-kejut" dan seterusnya.
Nah, bila di kandungan saja, kita dituntun untuk mendidik anak-anak kita, apatah lagi ketika mereka sudah lahir ke dunia ini. Tentu, ikhtiar mendidiknya lebih nyata dan tentu lebih kompleks, sehingga harus subgguh-sungguh. Kedekatan orangtua kepada anak, tetutama ibundanya, tentu dapat secara langsung memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Apalagi setiap melakukan aktivitas kebaikan, anak kita menyaksikannya. Apalagi disertai dengan ajakan lembut kepada anak kita, termasuk untuk shalat.
Seiring dengan berjalannya usia, secara proporsional, kita sudah bisa mengenalkan shalat pada anak kita meski masih balita, sekaligus mengajak agar terbiasa. Dalam hal ini, tentu kita harus terus berikhtiar agar anak kita bukan hanya menghafal nama shalat fardhu sehari semalam yang lima kali tetapi juga mengerjakannya. Seorang muslim ya harus mau ISLAM: Isya, Subuh, Lohor, Ashar dan Magrib dengan sukarela, senang hati dan istikamah. Kalau ditinggalkan sebagiannya, maka tidak akan berbunyi, ISLAM.
Dalam praktiknya secara persuasif, kita berikhtiar membiasakan anak-anak untuk ikut ayah ibunya. Hal ini sudah bisa dibiasakan sejak balita, sehingga saat anak kita berusia tujuh tahun sudah istikamah mengerjakan shalat.
Nabi Muhammad saw bersabda "Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika mereka meninggalkan shalat) ketika mereka berusia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka." (HR. Abu Dawud, no. 495; Ahmad, no. 6650; dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud).
Tetapi mungkin ada yang di luar prediksi kita, ternyata ada yang tetap malas atau ogah-ogahan bahkan ketika usia sudah sepuluh tahun. Nah bila ini terjadi, maka banyak hal yang harus kita evaluasi; barangkai kita sebagai orangtua tidak memberi cobtoh teladan atau yang kurang memahami anak kita atau lingkungan yang kurang kondusif atau tontonan di hp atau tv yang memengaruhinya. Tetapi kita musti "yadhribu atau memukul kesadarannya" dengan memberi pengertian atau pelajaran dari berbagai-bagai kisah agar anak mau mengerjakan shalat. Semoga kita, semua anggota keluarga istikamah menunaikan shalat. Aamiin
Tags:
Muhasabah Harian Ke-3487