Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 18 Syakban 1444
Seimbang Terang & Gelap
Saudaraku, bila pada halaqah muhasabah yang baru lalu mengambil tema tentang seimbang dalam memilih antara menjadi cakep atau sebaliknya, maka muhasabah hari ini tentang gelap dan terang.
Secara lahiriyah, baik gelap maupun terang sejatinya tidak berdiri sendiri, tetapi terikat dan sangat bergantung pada yang foktor lain, yakni cahaya. Makanya gelap dimaknai sebagai ketiadaan cahaya, sementara terang karena bersamanya ada cahaya.
Secara subtantif, gelap dan terang adalah suasana hati. Imam Ghazali memberi nasihat bahwa hati manusia itu laksana cermin yang memantulkan. Kebajikan akan membuat hati terang bersinar, sementara keburukan dan kejahatan akan membuatnya gelap. Nah pada ranah ini, gelap atau terang itu pilihan. Karena pilihan, tentu ada keseimbangan.
Ya, yang namanya cermin saat bersih pasti memantulkan dengan jelas apapun yang ada di depannya, tetapi ketika cermin itu kotor dengan lapisan debu atau noda-noda yang menutupinya, apalagi retak, maka benda-benda di depannya akan tampak kabur bahkan tak terlihat sama sekali. Di sinilah upaya memelihara cermin dan membersihkannya dengan mengelap atau bahkan menyucinya menjadi keniscayaan bagi yang menginginkan pantulan yang jelas mempesona.
Begitulah hati kita. Bila hati bersih, putih dan suci, maka ia akan memantulkan apapun dengan amat eloknya bahkan dapat bercahaya menerangi sekitarnya. Tetapi kalau hati kotor karena tertutupi oleh debu dosa maka akan gelap tak ada cahaya apalagi menerangi sekelilingnya.
Sebagaimana telah menjadi keyakinan kita bahwa setiap diri manusia dilahirkan ke dunia ini dalam kondisi fitrah. Untuk ini Nabi Muhammad saw limabelas abad yang lalu sudah mengabarkan melalui riwayat yang terpercaya bahwa setiap bayi dilahirkan dalam kondisi fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang kemudian menjadikan ia yahudi, nasrani atau majusi.
Dalam normativitas di atas, selain bermakna Islam, tauhid, potensi dasar, fitrah juga bermakna suci dan bersih terhindar dari dosa warisan dan kesalahan apapun dari siapapun hatta orangtuanya sekalipun. Jadi setiap orang dilahirkan dalam kondisi suci tidak membawa dosa warisan dari sesiapapun hatta dari ibu yang mengandungnya. Tetapi mesti diingat, saat lahir bukan berarti tidak membawa apa-apa. Setiap diri membawa Islam, nembawa naluri bertuhankan Allah, membawa potensi dasar. Allah berfirman yang artinya, Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (Qs. Al-Rum 30)
Di ayat lain, Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Qs. Al-A'raf 172)
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (Qs. Al-Nahl 78)
Nah berdasarkan normativitas di atas, maka orangtua, lingkungan sosial dan pendidikan yang dilalui idealnya dapat mendukung, memelihara dan memberdayakan fitrah yang dibawanya sejak mula. Dan, mesti diingat bahwa hanya dengan Islam saja, fitrah yang dibawa dapat dijaga dan diberdayakan secara maksimal.
Karena Islam berisi ajaran kebaikan, maka dapat menghantarkan hati tetap dalam kefitrahannya. Bila fitrah ada yang bisa digambarkan sebagai hati yang bersih putih berseri, maka ia terang menerangi akan memantulkan cahayanya. Di sinilah kita mengenal bahwa semua manusia memiliki hati nurani, hati yang bercahaya atau hati yang terang bersinar laksana rembulan atau bahkan matahari. Cahayanya menyinari bumi, memberi manfaat bagi seluruh makhluk, dan meneba kemaslahatan bagi kehidupan. Dengan demikian berbuat baik seperti yang diajarkan oleh Islam merupakan energi positif yang akan mencerahkan hati sehingga hati menjadi bersih, suci, putih, terang bercahaya sehingga ia dapat menyinari kehidupan di sekitarnya.
Penunaian syahadat, shalat, puasa, zakat, haji, umrah, qurban, akikah, sedekah, waqaf, bermuamalah dengan baik, belajar, menolong sesamanya, menyayangi hewan, memelihara lingkungan, disiplin berlalu lintas hatta menyingkirkan duri di jalan merupakan kebajikan. Kebajikan atau amal shalih yang kita lakukan ini pada gilirannya akan mengantarkan pada hati yang tenang, lapang, tercerahkan, dan bahagia membahagiakan.
Sebaliknya melakukan sebuah kesalahan, terbersit sedikit kesombongan, terlanjur dengan sebutir kelalaian, mengerjakan sebiji sawi kedhaliman hanya akan menorehkan noda berwujud noktah hitam di hati. Ketika semakin banyak kesalahan dilakukan, maka semakin banyak pula noktah hitamnya, sebanyak seiring dengan banyaknya dosa, bahkan jangan-jangan noda hitamnya telah memenuhi hati sehingga tak tersisa lagi warna putihnya. Dalam bahasa agama, kondisi hati yang gelap ini dikenal dengan istilah dzulmun, makanya kita mengenal berhati dzulmani, berhati gelap. Gelap adalah ketiadaan cahaya, makanya sering disebut juga sekarat atau bahkan mati atau tidak hidup lagi, meskipun siempunya masih berjalan ke sana kemari. Dianya sendiri saja dalam kondisi gelap gulita, lalu bagaimana bisa menerangi sekitarnya? Tidak! Tidak bisa. Bila terlanjur salah, terlanjur berbuat dosa, maka harus segera berhenti sekarang juga. Dalam bahasa agama kita difasilitasi dengan instrumen taubat nasuha. Taubat nasuha ini persis seperti kita membersihkan cermin, mengelapnya atau mencucinya, agar cermin bersih dan bersinar terang kembali.
Dengan demikian gelap sejatinya juga bermakna kejahiliyahan sedangkan terang adalah Islam. Maka semboyan habis gelap terbitlah terang, di samping bermakna penjajahan berlalu berganti kemerdekaan, juga bermakna masa kejahiliyahan telah berganti menjadi masa Islam yang sarat peradaban. Oleh karena itu sebagai orang Islam tentunya kita mensyukuri hati yang selalu bersih jernih tiada noda sedikitpun.
Gelap menjadi persoalan lebih serius ketika dimaknai substantif, yakni masa kegelapan, saat jahiliyah atau suasana hati dzulmani. Oleh karenanya kita bersyukur pada Allah hidup pada zaman terang benderang disinari oleh Islam sehingga hati kitapun terang sampai merasakan kebahagiaannya. Semoga. Aamiin ya Mujib al-Sailin
Tags:
Muhasabah Harian