Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 23 Syakban 1444
Seimbang Keshalihan
Saudaraku, gladi kemaafan atas dosa vertikal dan dosa horisontal sebagaimana telah diingatkan dalam muhasabah yang baru lalu sejatinya merupakan di antara perwujudan keshalihan yang harus dikukuhkan oleh setiap insan yakni keshalihan individual dan kesahalihan sosial. Dan tentu dua keshalihan ini juga musti seimbang.
Mengapa tentang keseimbangan keshalihan individual yang bersifat vertikal dan keshalihan sosial yang bersifat horisontal ini penting diingatkan atau dipersiapkan sejak sekarang di bulan Syakban ini, bahkan jauh sebelumnya?
Ya, karena sejatinya ibadah Ramadhan juga sangat kondusif dalam menyediakan kesempatan untuk meraih keshalihan individual dan keshalihan sosial. Maka sejak sekarang akhlak relasional baik yang vertikal maupun horisontal harusnya sudah menghiasi hati dan perilaku kita sehari-hari.
Bila keshalihan indivual dengan Allah - misalnya gemar shalat bahkan termasuk juga yang sunat-sunat, suka berpuasa sunat apalagi yang wajib, suka berzikir - sangat baik dan intensif rutin, tetapi dengan sesama suka menyakiti hati atau tidak peduli sama sekali, lalu di mana disembunyikan pengetahuannya bahwa iman, ilmu dan amal shalih itu menjadi satu kesatuan yang sistemik? Masak tidak ingat? Lagian mengapa praktik ibadahnya tidak memengaruhi akhlaknya pada sesama? Ini, kan masalah?
Atau sebaliknya, keshalihan sosialnya - seperti care, santun, suka membantu sesama, dan pemaaf - sangat baik, tetapi tidak beriman, atau tidak berislam; tidak shalat jangankan yang sunat yang wajibpun kagak, tidak berpuasa jangankan yang sunat, yang wajib pun luput. Bila seperti ini, lalu niat kebaikannya untuk siapa? Hanya untuk orang? Nah, inilah makanya semua itu hanya sesuai peruntukannya saja. Karena tidak diikat dengan iman, maka pasti ia akan terlepas sehingga menjadi sia-sia secara imaniyah.
Allah berfirman yang artinya Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka (berpegang) pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. Mereka mendapat murka dari Allah dan (selalu) diliputi kesengsaraan. Yang demikian itu karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi, tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu karena mereka durhaka dan melampaui batas. (Qs. Ali Iimran 112.
Berdasarkan normativitas yang artinya tertera di atas di antaranya dipahami bahwa keshalihan individual dan keshalihan sosial seyogyanya serasi seimbang. Bahkan bila kita kalkulasi antara praktik ibadah individual dan ibadah sosial, maka akan lebih banyak ajaran dan praktik ibadah sosial. Bahkan dalam penunaian ibadah mahdhah yang notabene melahirkan keshalihan individual, padanya sarat dengan tuntutan pengukuhan keshalihan sosialnya.
"Rukun puasa", misalnya, benar ia merupakan ibadah mahdhah, yang praktiknya dengan tidak makan minum dan hal yang membatalkan lainnya, sekaligus sebagai masa uzlah, meditasi, topo roso atau meditasi jiwa dan ngeposke roso atau memposisikan jiwa dengan benar, tetapi pada saat yang sama kita juga dituntun tepo sliro, peduli sesama. Ya "puasa perseteruan", "puasa nggibah", "puasa fitnah" dan puasa terhadap seluruh pantangan sosial.
Dengan demikian, puasa menjadi instrumen pengendalian diri (self management) yang dengannya menjadi modal utama seseorang yang pada gilirannya akan mempengaruhi seluruh aktivitas sosial dalam kesehariannya. Ketika management pribadinya baik, maka apapun yang memantul secara praktis dari padanya pasti merupakan keshalihan, kebaikan, keberkahan, dan membawa kemaslahatan bagi kehidupan. Semoga kita bisa merengkuhnya. Aamiin ya Mujib al-Sailin
Tags:
Muhasabah Harian