Fikih Bahagia dalam Shalat

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah Harian Ke-3507
Selasa, 21 Rajab 1446

Fikih Bahagia dalam Shalat
Saudaraku, di samping fikih sosial, fikih lingkungan dan fikih kesehatan dalam shalat, maka kini menyoal fikih kebahagiaan.  Dengan bahasa yang lugas dapat ditegaskan bahwa shalat itu memvasilitasi kebahagiaan. Hal ini sejatinya sudah kita sadari sedari mula sekali. Mengapa? Ya, karena seluruh pengamalan, pengalaman dan perolehan shalat mewujud dalam rasa bahagia. Coba ingat kembali, secara praktis saja; bukankah shalat memvasilitasi kesehatan, kejernihan berpikir, dan ketentraman batin? Bukankah ini kebahagiaan.

Di samping itu secara teologis, bukankah shalat itu kunci surga, bukankah shalat itu amal yang pertama sekali diperiksa, bukankah shalat itu pembeda antara orang beriman dan selainnya, bukankah shalat itu penghapus dosa? Untuk ini biarlah normativitas yang berbicara.

Pertama, shalat kunci surga. Hadits tentang shalat sebagai kunci surga menegaskan pentingnya shalat dalam kehidupan seorang hamba. Rasulullah ï·º bersabda: "Kunci surga adalah shalat, dan kunci shalat adalah wudhu." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Normativitas di atas  menegaskan bahwa shalat merupakan jalan utama menuju surga. Sebagaimana kita ketahui bahwa surga itu ya bahagia, maka shalat itu kunci bahagia. Dan surga itu sejak di sini, di dunia ini, maka orang-orang yang shalat selalu merasakan kebahagiaan sejak sekarang di dunia ini dan kebahagiaannya ini akan dirasakan kesempurnanya di akhirat kelak.

Kedua, shalat merupakan amal yang pertama-tama diperiksa. Rasulullah ï·º bersabda: "Amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka baiklah seluruh amalnya. Jika shalatnya rusak, maka rusaklah seluruh amalnya." (HR. At-Tirmidzi)

Normativitas di atas meneguhkan posisi shalat sebagai inti dari amal ibadah kepada Allah ta'ala. Shalat menjadi barometer kepribadian seorang hamba. Bila shalatnya sudah baik, pasti merasakan manisnya iman, menikmati kebahagiaan hidup dan seluruh aktivitas kesehariannya disinari aura shalat yang membahagiakan. Inilah mengapa kebaikan mewarnai seluruh perilaku di luar shalat, sehingga hanya rasa bahagia yang dirasakan.

Ketiga, shalat itu pembeda antara orang beriman dan kafir. Shalat sebagai pembeda antara muslim dan kafir. Rasulullah ï·º bersabda: “Batas antara seorang hamba dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)

Normativitas di atas menunjukkan bahwa shalat adalah salah satu amalan terpenting yang membedakan keberimanan dari kekafiran. Makanya meninggalkan shalat tanpa udzur apapun dinilai sebagai dosa besar. Ya beriman itu memvasilitasi kebahagiaan dan sebaliknya kufur atau kafir pada (nikmat) Allah mengakibatkan "petaka" karena siksaan Allah itu amat pedih. Dengan demikian shalat yang menjadi di antara identitas orang beriman yang dengannya memvasilitasi kebahagiaan.

Keempat, shalat itu penghapus dosa. Rasulullah ï·º bersabda: "Bagaimana pendapat kalian jika di depan pintu salah seorang dari kalian ada sebuah sungai, lalu ia mandi di dalamnya lima kali setiap hari, apakah masih tersisa kotoran pada tubuhnya?" Para sahabat menjawab, 'Tidak akan tersisa sedikit pun kotoran pada tubuhnya.' Rasulullah ï·º bersabda, 'Begitulah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa.'" (HR. Bukhari dan Muslim)

Normativitas di atas memberi pelajaran bahwa shalat merupakan ibadah mahdhah yang dapat menggugurkan dosa yang ada. Karena dosa itu beban yang memberati jiwa, maka dengan diampuniNya, hati menjadi ringan tak terbebani sehingga rasanya plong, puas, ridha dan membahagia.

Dengan demikian di samping sebagai tiang agama, shalat merupakan ibadah mahdhah yang menghubungkan seorang hamba dengan Allah, dan merupakan kunci untuk mendapatkan rahmat dan surga-Nya. Dengan menjaga shalat tidak hanya membawa kebahagiaan duniawi tetapi juga apalagi di akhirat. Aamiin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama