Muhasabah 24 Rajab 1444
Shalat: Pertanda Mengglobal
Saudaraku, shalat khusyuk sebagaimana telah diingatkan dalam muhasabah yang baru lalu musti hadir hati, akal mengikuti dan lahiriyahnya juga istikamah memenuhi syarat, rukun juga kaifiyatnya.
Dalam kaifiyatnya yang sedemikian rupa, shalat sejatinya juga sebagai pertanda bahwa umat Islam musti mengglobal. Ya, tentu, mengglobal tanpa tercerabut dari akar budaya lokalnya yang terjaga. Mungkin tema shalat mengglobal ini sudah kesekian kalinya tersaji dalam muhasabah setiap tahunnya di halaqah harian ini, tetapi tetap saja terusik membacanya.
Kata mengglobal di sini dimaksudkan sebagai nilai ikhtiari setiap hamba untuk tetap “eksis” di dunia global. Dalam Islam yang disebut “eksis” itu, bukan saja harus ada atau hadir dan memiliki kualitas, tetapi juga mendatangkan manfaat bagi kehidupan. Jadi “eksis” itu harus ada/hadir, berkualitas dan menebar maslahah rahmatan lil'alamin. Inilah sebaik-baik manusia, ketika kehadirannya memberi manfaat kepada sesamanya. “Khairunnas anfa’uhum linnas”. Begitu sabda Nabi.
Nah, bagaimana “eksis” rahmatan lil'alamin, mengglobal mendunia ini bermuara pada shalat? Ya, begini logikanya! Tuntutan mengglobal sejatinya sudah sangat nyata dalam tuntunan shalat, bahkan bisa kita peroleh dalam kaifiyat formalnya. Dalam kaifiyat lahiriyah shalat, posisi badan kita ada kalanya berdiri tegak tegap, rukuk, sujud dan duduk. Secara matematis, saat posisi tegak berdiri kita membentuk 180 derajat, saat posisi rukuk membentuk 90 derajat dan saat posisi sujud membentuk 45 derajat (karena setiap rekaat sujudnya dua kali maka 45 x 2 = 90 derajat). Dengan demikian dalam satu rekaat shalat terakumulasi 360 derajat. Dengan 360 derajat ini, berarti kita membentuk formasi sebuah lingkaran atau bola atau globe.
Nah dari sinilah istilah globe, kemudian global dipahami sebagai mendunia, makanya globe sama dengan bola dunia. Bagaimana ibrah mengglobalnya? Pertama, karena dalam satu rekaat shalat, kita membentuk formasi 360 derajat, maka minimal dalam sehari semalam kita meneguhkan 17 lingkaran/globe (baca global). Bila ada yang memperindah dengan shalat-shalat sunat, maka bisa 50 lingkaran (baca rekaat) bisa dilakukan.
Lingkaran merupakan bentuk totalitas kesempurnaan dan tidak ada sisi yang kurang. Inilah yang saya katakan bahwa shalat merupakan totalitas pengabdian manusia ke atas Rabbnya, kesempurnaan penghambaan diri pada Allah. Saat sebagian dari totalitas diri tidak hadir sehingga tidak lengkap dalam shalat, maka tidak membentuk 360 derajat dengan sempurna namanya. Artinya kenikmatan shalat (baca kelezatan iman) menjadi kurang sempurna.
Kedua, lingkaran merupakan simbolisasi dari dunia seisinya, makanya kita mengenal bola dunia dengan istilah globe. Dengan demikian saat satu rekaat shalat dilakukan, sejatinya kita dituntun dapat mengglobal, berfikir global, memiliki wawasan luas, mendunia tanpa tercerabut dari akar budaya dan kearifan lokal; jauh dari sikap sektarian apapun tendensinya. Sekali lagi, minimal 17 kali dalam sehari semalam kita dituntun dan dituntut untuk mendunia. Ya kita harus bisa hidup dan eksis di dunia global yang sarat dengan peradabannya tanpa harus kehilangan identitas lokal yang terjaga.
Ketiga, dengan rekaat-rekaat yang dikukuhkan itu, orang-orang shalat dituntun dan dikondisikan untuk selalu eksis dalam percaturan global. Eksis itu bukan saja harus memiliki kualitas, tetapi juga mendatangkan manfaat bagi kehidupan.Agar bisa hadir atau eksis di tengah cepatnya perubahan dalam kehidupan ini sebagaimana diisyaratkan dalam penunaian ibadah shalat, maka orang beriman harus berkualitas.
Pribadi yang berkualitas ditamsilkan bagai air yang memberi manfaat bagi kehidupan. Allah berfirman yang artinya, Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti (buih arus) itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan tentang yang benar dan yang batil. Adapun buih, akan hilang sebagai suatu yang tidak ada gunanya tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (QS. Ar-Ra’du 17)
Berdasarkan normativitas yang terjemahannya tertera di atas, orang-orang yang berkualitas itu akan selalu eksis hadir memberi kemanfaatan bagi kehidupan, tamsilannya persis seperti air yang mengairi, meratakan, menumbuhkan, menyejukkan, dan menghilangkan dahaga kehidupan. Tentu akan sangat kontras dengan orang-orang yang tak berkualitas (baca, karena tak shalat) yang ditamsilkan seperti buih yang sebanyak apapun menggunung akan tetap rapuh, diombang ambingkan angin ke mana bertiup dan tidak membawa manfaat bagi kehidupan manusia, kecuali untuk ibrah agar mewaspadainya.
Keempat, nilai shalat membawa rahmatan lil ‘alamin; membawa kemaslahatan semesta alam. Tentu, karena setelah berhasil melangit, lalu harus dibutktikan dengan membumi, menebar kemaslahatan di muka bumi. Ketika melangit, kita memohon keselamatan dan kesejahteraan hanya pada Allah Rabbuna, lalu kita memberikan keselamatan dan kesehahteraan kepada sesamanya di muka bumi. Aamiin ya Mujib al-Sailin
Tags:
Muhasabah Harian