Muhasabah 23 Rajab 1444
Shalat Khusyuk
Saudaraku, mengulangkaji tentang shalat, rasanya belum lengkap bila tidak menyertakan tema tentang khusyuk. Ya, kan? Mengapa? Iya lah, di antaranya karena khusyuk itu ruhnya shalat. Bukankah shalat yang kaifiyatnya dimulai dari takbiratul ihram sampai diakhiri dengan salam itu praktik lahiriyahnya. Nah agar shalat itu "hidup" makanya harus dihidupkan, musti dijiwai dengan khusyuk. Dengan demikian praktik lahiriyah penting, tetapi bathiniyah juga penting. Inilah shalat khusyuk; yakni shalat yang sungguh-sungguh.
Bila shalat yang ada hanya praktik lahiriyahnya saja, yakni dimulai dari takbiratul ihram sampai salam, maka shalat seperti layaknya mesin sehingga bersifat mekanik atau seperti gerak otomatis robot, tentu shalatnya tidak "hidup" apalagi "menghidupi". Dan yang jelas, menjadi tidak lengkap sebagai shalat yang disyariatkan. Tetapi sebaliknya, bila hanya ada bathiniyahnya saja, tidak ada gerak lahiriyah, maka bukan shalat namanya, tetapi eling saja. Tentu juga tidak lengkap sebagai shalat yang disyariatkan. Oleh karenanya, praktik lahiriyah penting, tapi khusyuk juga penting.
Saking pentingnya, Allah berfirman yang artinya Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya” (Al-Mukminuun1-2). Jadi keberuntungan berpihak pada orang-orang beriman yang shalatnya khusyuk.
Nah, shalat khusyuk itu bagaimana atau seperti apa ilustrasinya? Tentu, tidak mudah menjawabnya. Banyak sekali batasan shalat khusyuk sehingga menjadi indikator yang melekat padanya. Di antaranya shalat yang tenang dengan menundukkan pandangan, melunakkan suara, rendah hati atau tawadhuk, hadir hatinya, menghayati sepenuh hati apa yang dilakukan dan apa yang dibaca, merasa dekat dengan Allah, takut shalatnya tidak diterima, dan melakukannya secara tertib.
Jadi khusyuk itu amalan bathiniyah dan aqliyah, tetapi juga mewujud secara lahiriyah. Hatinya ke Allah, pikirannya menyertai bacaan, lahiriyah terindikasi pada ketenangan saat melakukannya, bergetar sekujur tubuhnya dan bahkan "menangis trenyuh" karena menghayati sowannya.
Secara praktis, lontuan yakin bahwa shalat yang kita kerjakan selama ini pasti telah sampai pada derajat khusyuk, hanya persentase khusyuknya saja yang relatif dan berbeda-beda antar satu shalat dengan shalat berikutnya; antar seseorang dengan lainnya. Meski belum sampai pada derajat khusyuk seratus persen dari takbiratul ihram hingga salam, namun tetap harus diupayakan dan dimohonkan pada Allah untuk bisa khusyuk.maka seberapapun persentase khusyuk, biarlah menjadi bagian dari agenda personal yang akan terus ditingkatkannya.
Dari ‘Ammar bin Yasir ra, ia mendengar Rasulullah saw bersabda, “Ada yang selesai dari shalatnya, tetapi ia hanya mendapatkan sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, dan separuhnya.” (HR. Abu Daud, no. 796; An-Nasai dalam Al-Kubra, 1:316; Ahmad, 31:189; Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar, 3:136-137. Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’, 2:65, menyatakan bahwa hadits ini hasan).
Sering sekali ketika niat shalat sudah tertambat di hati, posisi sudah tegap berdiri menghadap kiblat, takbiratul ihrampun sudah dilafalkan pertanda shalat dimulai, lalu rukun hingga rukun berikutnya sudah dikerjakan, namun tetap saja ada yang tidak hadir hati; kadang takbirnya yang reflek tak terhayati, kadang bacaan al-Fatihahnyapun tidak busa sempurna hadir hati, kadang rukuknya luput dari kesadaran, iktidalnya, sujudnya dan ada saja bagian yang berlangsung mekanik begitu saja, tahu-tahu sudah diliwati. Belum lagi kondisi eksternal yang sangat mudah menyelinap masuk dalam pikiran saat shalat. Duh, Gusti Allah...nyuwun hidayah tuwin pitedah! (Ya, Allah mohon hidayah dan petunjuh). Tanpa hidayah dan petunjukMu, ya Rabb, berat dan berat rasanya untuk meraih khusyuk seratus persen.
Oleh karena itu, dengan shalat seperti selama ini, rasanya sudah lebih dari cukup untuk mengerti setingkat apa keberuntungan diri kita. Allahu a'lam
Tags:
Muhasabah Harian