Shalat: Merahmati

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 29 Rajab 1444 

Shalat: Merahmati
Saudaraku, di antara natijah penting dari titah shalat adalah membumi. Nilai-nilai shalat benar-benar memantul merefleksi merahmati bumi. Oleh karenanya selama sebulan ini, halaqah muhasabah mengingatkan pentingnya mengulangkaji shalat dengan segala yang melingkunginya. 

Bahasan tentang shalat sebagai pembuka keberkahan mengawali muhasabah bulan ini.  Oleh karenanya dimengerti bila sejatinya shalat selalu memanggil-manggil agar kita segera merengkuhnya (muhasabah ke-2). Ketika segera merengkuhnya ini, orang Islam tentu kemudian bergegas untuk bersuci (muhasabah ke-3) baik lahir maupun bathin, mengenakan busana terbaik yang dimiliki (muhasabah ke-4), dan berusaha memperindah penampilan misalnya mengenakan wewangian, dan kesalihan perilakunya (muhasabah ke-5), meski harus menghapi ragam tantangan saat merengkuhnya (muhasabah ke-6).

Mengapa sarat dengan tantangan? Ya, karena begitu dahsyatnya perolehan bila mampu shalat indah (muhasabah ke-7). Di samping, tentu shalat indah itu berefek positif bagi pelakunya secara langsung (muhasabah ke-8). Untuk itu, shalat perlu pengkondisian (muhasabah ke-9) sedemikian rupa.

Dalam praktiknya shalat setelah menambatkan niat dium hati (muhasabah ke-10), posisi badan siap tegap berdiri (muhasabah ke11),  menghadap kiblat (muhasabah ke-12), maka bergera takbiratul ihram (muhasabah ke-13) pertanda shalat telah dimulai.

Kaifiyat shalat berikut adalah membaca doa iftitah. Ia sebagai ikrar hamba ke atas Allah Rabbuna (muhasabah ke-14). Kita di antaranya menyatakan tentang komitmen dalam menjalani hidup di dunia ini. Allah berfirman yang artinya Katakanlah: "Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (Qs. Al-An'am 162,-163)

Berikutnya membaca surat al-Fatihah, di antaranya kita memuji Allah dengan setinggi-tingginya pujian (muhasabah ke-15). Di samping puncak pujian, ternyata shalat juga sebagai puncak permohonan (muhasabah ke-16). Inilahsop yang ditempuh oleh orang cerdas, yakni memuji lalu memohon.

Karena setrlah membaca al-Fatihah kita membaca surat atau ayat dari al-Qur'an yang tidak ditentukan secara tegas, maka di sini juga menuntut kearifan kecerdasan terutama sisi emosionalnya sehingga merahmahti diri dan sesamanya (muhasabah ke-17). Dan.m tentu dalam hal ini diperlukan komitmen dan istikamah sebagaimana tersirat dalam rukun iktidal (muhasabah ke-18). Berbeda dengan rukun sujud yang melambangkan sebagai puncak pengabdian (muhasabah ke-19). Dan kaifiyat duduk yang mengajarkan pentingnya istirahat (muhasabah ke-20). 

Adapun salam (muhasabah ke-21) merupakan rukun yang dilakukan sebagai pertanda shalat telah usai. Kira-kira dapat dimaknai bahwa setelah kita melangit sowan pada Allah, lalu musti membumi menebar salam (Islam, keselamatan dan kesejahteraan) kepada semua makhluk di bumi.

Dalam kaifiyatnya, seluruh rukun dan keindahannya shalat di atas tentu harus dikerjakan secara tertib; bukan saja tertib gerakan dan posisinya, tertib bacaannya, tetapi juga tertib waktu, tertib tempat dan tertib busana yang dikenakannya, bahkan juga tertib hatinya.Tertib (muhasabah ke-22). Di samping tertib, musti dapat merengkuh khusyuk (muhasabah ke-23) sebagai ruhnya shalat.

Shalat yang khusyuk pasa gilirannya akan memvailitasi setiap orang yang merengkuhnya untuk mengglobal (muhasabah 24) dan eksis di muka bumi (muhasabah ke-25) berkualitas dan merahmati. Di samping itu secara internal, shalat dinilai sebagai mikrajul mukminin,  wisata spritual, terapi Ilahiyah atas problem manusia (muhasabah ke-26). Dan hal ini bisa dipahami, karena shalat sejatinya ritual gerak ganda (muhasabah ke-27), ke langit untuk sowan sehingga musti ngenol dan di bumi merahmati (muhasabah ke-28). Inilah shalat dinilai sebagai proses pendakiannya tentu melalui maqam-maqam tertentu yang pada saatnya Allah akan menyambut hambaNya dengan kemahamuliaanNya sehingga hamba merasakan aura kemuliaanNya pada dirinya. Dan pada gilirannya aura kemuliaan inilah yang senantiasa mewujud dalam perilaku nyata yang merahmati (muhasabah 29). Aamiin ya Mujib al-Sailin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama