Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 7 Syakban 1444
Seimbang Kesungguhan
Saudaraku, dalam berikhtiar meraih kecerdasan holistik sebagaimana diingatkan dalam muhasabah yang baru lalu, tentu dihajadkan kesungguh-sungguhan. Kesungguh-sungguhan dalam bahasa agama disebut al-juhdun - jihad. Dan tentu, di sini juga dihajadkan keseimbangan antara kesungguh-sungguhan fisik, akal pikiran dan hati.
Ya, benar, kesungguh-sungguhan berikhtiar dalam menjemput karunia Allah musti dilakukan dengan melibatkan seluruh kepribadian dirinya sebagai manusia, baik lahiriyah, akliyah maupun batiniyah. Kesungguh-sungguhan secara lahiriyah disebut jihad, secara akliyah disebut ijtihad dan secara batiniyah disebut mujahadah.
Pertama, kesungguh-sungguhan secara fisik atau jihad. Kesungguhan dengan memaksimalkan potensi fisik dan lahiriyah dikenal dengan jihad. Jihad dapat dilakukan dengan laku lahir dan beramal shalih.
Seseorang lazim menempuh perjalanan pergi - juga pulang - ke sekolah, ke madrasah, ke dayah atau ke perpustakaan, ke toko-toko buku, ke rumah-rumah guru, ke masjid, ke majlis ilmu atau ke mana saja untuk memperoleh ilmu, dan tentu perlu pengorbanan waktu, biaya, perhatian dan lain sebagainya. Nah ini merupakan bagian dari ikhtiar kesungguh-sungguhan secara lahiriyah atau jihad fi sabilillah. Dalam hal ini musti bertungkus lumus, berjibaku dengan waktu; dan betapa banyak keringat tertumpah, perhatian tercurah, dan pengorbanan yang tidak murah musti diabdikan untuk meraih karunia Allah apapun jua.
Tentu, semua itu merupakan bagian dari amal ibadah dan wujud ketaatan kepada Allah. Oleh karenanya amalan bentuk apa saja meski itu remeh temeh dan kecil, musti dilakukan secara sungguh-sungguh dan istikamah. Kita, sebagai hambaNya benar-benar tidak mengetahui hal ikhwal amalan yang mana yang mendatangkan keridhaan Allah ta'ala, dan dengannya kemudian Allah menurunkan rasa bahagia (hal, ahwal) kepada kita. Jangan-jangan bukan disebabkan oleh amalan kita yang besar seperti shalat, termasuk tahajud atau dhuha, atau zakatnya melimpah, atau rajinnya berpuasa, haji atau umrah kita, tetapi justru disebabkan oleh amalan-amalan ringan seperti menyingkirkan duri (baca rintangan, batu, ranting kayu sampai mengamankan anak kucing) dari jalan atau memberi makanan pada anjing yang kelaparan. Oleh karenanya kita harus meneguhkan ketaatan hingga sekecil apapun ia, dan menjauhi kemaksiatan dan dosa sekecil apapun ia.
Kedua, kesungguh-sungguhan secara akliyah atau ijtihad. Kesungguhan dalam mengoptimalkan potensi akal dikenal dengan ijtihad. Ijtihad dapat dilakukan dengan laku pikir merefleksi pada aktivitas belajar, berdiskusi, berpikir, berfilsafat, memecahkan masalah dan mencari solusi.
Dengan berijtihad, maka betapa banyak karya cemerlang, teori ilmiah, buku dan karya tulis penting lainnya dihasilkan sebagai turats dari para cerdik pandai yang tersimpan rapi, senantiasa dikaji, dibedah dan diteliti sehingga memberi kemanfaatan pada kehidupan. Makanya dengan aktivitas ijtihad ini memungkinkan terjadinya dinamisasi dan akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketiga, kesungguh-sungguhan secara phikhis atau secara batiniyah dikenal dengan mujahadah. Mujahadah dapat dilakukan dengan laku batin, membersihkan hati dan mengasahnya dengan mensucikan diri, memperbanyak berdzikir, menyebut Allah, shalat tahajud, shalat dhuha, dan shalat-shalat sunah lainnya, juga puasa.
Dengan demikian untuk menjemput rasa bahagia diperlukan keseimbangan kesungguhan baik laku lahir, laku pikir maupun laku batin hamba, yang dengannya Allah menurunkan rasa bahagia sebagai kemahamurahanNya. Aamiin ya Mujib al-Sailin
Tags:
Muhasabah Harian