Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 6 Syakban 1444
Seimbang Ikhtiar Doa & Tawakal
Saudaraku, untuk mewujudkan kecerdasan holistik sebagaimana diingatkan dalam muhasabah yang baru lalu atau bahkan cita cinta apapun, tentu dihajadkan ikhtiar, doa dan tawakal yang juga musti seimbang dan proporsional.
Pertama, berikhtiar. Ya, tentu berikhtiar bagi manusia merupakan keniscayaan dalam menjalani kehidupan, bahkan menjadi penanda hidup. Berikhtiar itu berusaha untuk merealisasikan keinginan dan cita cinta mulianya. Allah berfirman yang artinya Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. Al-Taubah 105) Dan, Katakanlah (Muhammad), “Wahai kaumku! Berbuatlah menurut kedudukanmu, aku pun berbuat (demikian). Kelak kamu akan mengetahui. (QS. Al-Zumar 39)
Bila ketetapan merupakan hak prerogratif Allah sebagai khalik, maka ikhtiar itu merupakan ranahnya hamba. Ya ranahnya hamba dalam menjemput dan menjumput karuniaNya. Bahkan dalam iman Islam, ikhtiar itu dinilai sebagai bagian dari ibadah.
Tentu, tanpa harus mengkalkulasi seberapa daya harus dikerahkan, pikiran musti dicurahkan, hati wajib diaktivasi, ikhtiar idealnya dilakukan sepanjang hidupnya. Allah berfirman yang artinya Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Qd. Al-Insyirah 7 dan 8)
Berdasarkan normativitas yang artinya tertera di atas, di antaranya dapat dipahami bahwa bekerja atau beramal atau berikhtiar idealnya harus dikerjakan. Setelah selesai mengerjakan satu urusan, kita dutuntun untuk mengerjakan aktivitas bermakna berikutnya. Jadi hidup itu berikhtiar demi berikhtiar. Karena ikhtiar itu ibadah, maka hidup itu ibadah.
Kedua, berdoa. Agar ikhtiar segera jelas natijah keberkahannya, kita dituntun untuk berdoa kepada Allah, zat yang maha pencipta. Apalagi, doa itu merupakan senjata kaum mukmin, maka senjata itu baru nampak kekuatannya ketika digunakan. Allah berfirman yang artinya “Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (Qs. Al-Mu’min 60).
Berdoa itu merupakan ikhtiar secara vertikal dimana seorang hamba berusaha menghubungkan dirinya dengan Allah sekaligus mengundangNya untuk hadir dalam kehidupannya.
Oleh karena itu, dengan berdoa seseorang bisa memiliki kekuatan dan jalan memperoleh sesuatu yang semula relatif sulit menjadi mudah; sesuatu yang semula relatif mustahil menjadi riil; sesuatu yang semula tidak mungkin menjadi mungkin; sesuatu yang semula cita-cita menjadi fakta. Ya doa itu ikhtiar merubah cita-cita menjadi fakta; dari harapan menjadi kenyataan.
Ketiga, bertawakkal. Logika iman berikutnya setelah berikhtiar dan berdoa, adalah bertawakal. Bertawakal yakni berserah diri kepada Allah atas apapun ketenruanNya. Namun buru-buru diberi anotasi bahwa bertawakal itu merupakan di antara bagian dari satu kesatuan yang sistemik, sehingga tidak bisa sempurna kecuali dengan seluruh komponen yang padu itu. Masing-masing menghajatkan satu atas lainnya, sehingga tidak bisa dipisah-pisahkan. Komponen ini meliputi ikhtiar yang sungguh-sungguh (jihad, ijtihad dan mujahadah), doa, tawakal, ridha, qanaah, sabar, dan syukur.
Karena kita menyandarkan sepenuhnya pada Allah dengan mematuhi sunatullahNya yang berlaku, idealnya dengan bertawakal justru melahirkan energi positif yang unlimited, sampai tak jangkau sama sekali secara insani. Allah berfirman yang artinya, barangsiapa bertawakal kepada Allah, ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Qs. Al-Anfal 49)
Normativitas yang terjemahannya tertera di atas secara tersirat bahwa Allah menjamin dengan menganugrahi kekuatan dan kearifan hidup kepada orang-orang yang bertawakal kepadaNya.
Karena dengan tawakal atau penyerahan diri sepenuhnya (sebagai seorang muslim, yang berserah diri) kepada Allah, maka Allah menerima penyerahan dirinya, lalu membukakan baginya keberkahan hidup mencurahkan nikmat dan keberkahan, yang kebaikan dan kebajikannya senantiasa bertambah dan bertambah sekaligus melenyapkan rasa fesimis, khawatir, susah gulana dan segala energi negatif yang tersisa.
Inilah alasannya mengapa tawakal itu merupakan instrumen yang melahirkan energi positif, yang mampu mengubah kegagalan menjadi pelajaran atau bahkan peluang, memvasilitasi peluang menjadi kenyataan, mengubah kenyataan menjadi hikmah kehidupan. Tawakal juga menuntun kepada kesuksesan, menjadikan kesuksesan menjafi rasa syukur. Nah, semoga kita mampu menyeimbangkan antara berikhtiar, berdoa dan bertawakal. Aamiin ya Mujib al-Sailin
Tags:
Muhasabah Harian
Alhamdulillah terimakasih pak sri atas pencerahnannya
BalasHapus