Muhasabah 8 Jumadil Akhir 1444
Energi Ikhtiar
Saudaraku, sungguh benar, Allah maha pencipta yang mencipta segalanya. Sudah barang tentu termasuk kita, semua manusia. Bukan saja mencipta, tetapi Allah juga menganugrahi kemampuan kepada manusia untuk hidup di dunia. Kemampuan yang dimiliki di antaranya adalah bebas berkeinginan (free will), bebas memilih (free choice), dan bebas berbuat (free act). Untuk inilah, makanya terdapat tuntutan dalam menjalani kehidupan bagi manusia yakni berikhtiar. Ya berikhtiar atau berusaha sungguh-sungguh untuk merealisasikan keinginan dan cita cintanya.
Allah berfirman yang artinya Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. Al-Taubah 105) Dan, Katakanlah (Muhammad), “Wahai kaumku! Berbuatlah menurut kedudukanmu, aku pun berbuat (demikian). Kelak kamu akan mengetahui. (QS. Al-Zumar 39)
Bila ketetapan merupakan hak prerogratif Allah sebagai khalik, maka ikhtiar itu merupakan ranahnya hamba. Ya ranahnya hamba dalam menjemput dan menjumput karuniaNya. Bahkan dalam iman Islam, ikhtiar itu dinilai sebagai bagian dari ibadah. Nah energinya sebesar apa? Lalu ikhtiar itu apa ada batasnya?
Tentu, tanpa harus mengkalkulasi seberapa daya harus dikerahkan, pikiran musti dicurahkan, hati wajib diaktivasi, ikhtiar idealnya dilakukan secara sungguh-sungguh. Allah berfirman yang artinya Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Qd. Al-Insyirah 7 dan 8)
Berdasarkan normativitas yang artinya tertera di atas, di antaranya dapat dipahami bahwa bekerja atau beramal atau berikhtiar idealnya dikerjakan dengan sungguh-sungguh, secara maksimal. Setelah selesai mengerjakan satu urusan, kita dutuntun untuk mengerjakan aktivitas bermakna berikutnya. Jadi hidup itu berikhtiar demi berikhtiar; selalu bersungguh-sungguh.
Kesungguhan ikhtiar secara fisik dikenal dengan jihad, kesungguhan ikhtiar secara akliyah dikenal dengan ijtihad dan kesungguhan ikhtiar secara mental spiritual dikenal dengan mujahadah. Dengan demikian batasan kesungguhan sifatnya relatif sesuai dengan kemampuan masing-masing orang.
Pertama, jihad. Jihad ini merujuk pada kesungguhan ikhtiar secara fisik. Misalnya dalam ikhtiar menyelesaikan studi, secara fisik mewujud pada kerajinan pulang pergi ke tempat belajar, ke perpustakaan, ke ruang-ruang pembelajaran, melatih atau mengerjakan sesuatu secara fisik. Oleh karena itu fisik musti dijaga kesehatan, kebugaran dan daya tahannya.
Kedua, ijtihad. Kesungguhan ikhtiar secara akliyah yang dikenal dengan ijtihad mewujud dalam diskusi, tanya jawab, membaca buku, bimbingan, menulis artikel, merumuskan teori dan temuan ilmiah lainnya. Oleh karenanya akal musti dijaga kesehatan, kekuatan dan kejernihan berfikirnya.
Ketiga, mujahadah. Ini mengakomodir kesungguhan ikhtiar secara mental spiritual. Biasanya mewujud dalam praktik keberagamaan yang istiqamah, srperti dalam pengamalan arkanul islam. Bahkan juga yang sunah seperti dzikir, dhalat tahajud, shalat witir, shalat istikharah, shalat rawatib dan dhuha. Oleh karena itu hati musti dijaga keafiatan, ketulusan, dan kesuciannya.
Dengan jihad, ijtihad dan mujahadah, Ikhtiar yang dilakukan dapat menjadi instrumen kesuksesan, wasilah kebahagiaan demi kebahagiaan. Aamiin ya Mujib al-Sailin.
Tags:
Muhasabah Harian