Energi Taubat

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 7 Jumadil Akhir 1444

Energi Taubat
Saudaraku, ketika energi cinta sebagaimana telah diingatkan dalam muhasabah yang baru lalu belum juga dirasakan, maka idealnya segera bertaubat, kembali kepada - jalan dan ridha - Allah. Inilah mengapa tema muhasabah hari ini diracik di bawah judul energi taubat.

Terdapat kisah yang menggambarkan betapa taubat menjadi energi positif yang menuntun ke rasa bahagia dan terkabulnya doa. Allah berfirman yang artinya “Dan segala sesuatu yang menimpa kalian (berupa adzab dan bala’) adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian. Dan Allah banyak memaafkan kalian.” (QS. Al-Syuura 30)

Diceritakan pada zaman Nabi Musa, dimana kaum Bni Israel ditimpa musim kemarau yang berkepanjangan. Mereka berkumpul mendatangi Nabi Musa, seraya berkata, “Ya NabiyyAllah, berdoalah kepada Rabbmu agar Dia menurunkan hujan kepada kami.” Maka berangkatlah Musa ‘alaihis salam bersama kaumnya menuju tansh lapang yang luas. Waktu itu mereka berjumlah lebih dari 70 ribu orang. Mereka berdoa dengan keadaan yang lusuh dan kumuh penuh debu, haus, dan lapar.  Nabi Musa berdoa, Tuhanku! Turunkan hujan kepada kami. Tebarkan rahmat-Mu  kepada kami, kasihilah kami demi anak-anak yang masih menyusui, hewan ternak yang merumput, dan para orang-orang tua yg ruku’ kepada-Mu”

Setelah itu langit tetap saja terang benderang, matahari pun bersinar makin kemilau, kemudian Nabi Musa berdoa lagi, “Ilaahi, asqinaa” Allah pun berfirman kepada Musa, “Wahai Musa, Bagaimana Aku akan menurunkan hujan kepada kalian sedangkan di antara kalian ada seorang hamba yang bermaksiat sejak 40 tahun yang lalu. Umumkanlah di hadapan manusia agar dia berdiri di hadapan kalian semua. Karena dialah, Aku tidak menurunkan hujan untuk kalian…”
Maka Musa pun berteriak di tengah-tengah kaumnya, “Wahai hamba yang bermaksiat kepada Allah sejak 40 tahun keluarlah ke hadapan kami karena engkaulah hujan tak kunjung turun.”

Seorang laki-laki melirik ke kanan dan ke kiri. Maka tak seorang pun yang keluar di hadapan manusia. Saat itu pula ia sadar kalau dirinyalah yang dimaksud. Ia berkata dalam hatinya, “Kalau aku keluar ke hadapan manusia, maka akan terbuka rahasiaku. Kalau aku tidak berterus terang, maka hujan pun tak akan turun” Maka hatinya pun gundah gulana, air matanya pun menetes, menyesali perbuatan maksiatnya. Sambil berkata lirih, "Ya Allah…Aku telah bermaksiat kepada-Mu selama 40 tahun. Selama itu pula Engkau menutupi ‘aibku. Sungguh sekarang aku bertaubat kepada Mu, maka terimalah taubatku”.

Tak lama setelah pengakuan taubatnya tersebut, maka awan-awan tebal pun bermunculan, semakin lama semakin tebal menghitam, dan akhirnya turunlah hujan.  Nabi Musa pun keheranan, “Ya Allah, Engkau telah turunkan hujan kepada kami, namun tak seorang pun yang keluar di hadapan manusia.” Allah berfirman : “Wahai Musa, dia telah bertaubat dan Aku telah menerima taubatnya, karena orang itu lah Aku menahan hujan kepada kalian, dan karena dia pula lah Aku menurunkan hujan”.

Nabi Musa berkata: “Ya Allah, tunjukkan padaku orang itu. Tunjukkan aku pada orang itu”  maka Allah berfirman, “Wahai Musa, Aku telah menutupi ‘aibnya padahal ia bermaksiat kepada-Ku, apakah sekarang Aku membuka ‘aibnya sedangkan ia telah bertaubat dan kembali kepada-Ku?!”

Suhanallah, Sungguh Maha Pengasih Engkau wahai Rabb. Kalaulah bukan karena Engkau yang menutupi aib-aib kami, tentulah kami akan sangat malu di hadapan hamba-hamba-Mu. Engkau mengetahui dosa-dosa kami, kemalasan kami dalam beribadah, padahal kami dilihat sebagai orang yang bertakwa di pandangan manusia.
Engkau mengetahui kefakiran dan hajat kami, padahal kami dilihat sebagai orang kaya dalam pandangan manusia, kami bakhil ya Robby sedikit sekali kami berbagi pada hal itu rezeki dariMu.  Engkau mengetahui kelemahan dan keluh kesah kami, padahal kami dilihat sebagai orang kuat di pandangan hamba-hamba-Mu.

Rasulullah saw pernah berkisah. Dahulu kala, ada seorang penjahat dari Bani Israil yang sudah membunuh 99 orang. Suatu hari, sang pembunuh ini ingin bertaubat. Didatangilah seorang "ulama". "Saya telah membunuh 99 manusia, kalau saya bertaubat sudikah kiranya Allah menerima taubat saya," tanya pria tersebut.

Dosamu sangat besar. Betapa banyak jiwa yang kau hilangkan hak hidupnya. Tidak. Allah tidak akan menerima tobatmu," kata "ulama" tersebut. Sang penjahat terkejut dengan ucapan ulama tersebut. Ia langsung menghunuskan pedangnya. Ia membunuh ulama tersebut, sehingga genaplah 100 korban pembunuhan pria tersebut. 

Keesokan harinya ia kembali bertanya kepada seorang ulama. "Saya ingin bertolaubat, saya telah menghilangkan 100 nyawa, menurut Anda mungkinkan Allah menerima tobat saya," kata dia.

"Selagi nyawa belum sampai di tenggorokan, pintu taubat masih terbuka. Tetapi ada syarat yang kamu harus penuhi. Kamu harus pindah ke desa sebelah. Desamu pusat maksiat. Kalau tetap di sana, kamu akan kesulitan menjaga diri. Sedangkan desa sebelah adalah pusat kesalehan. Kalau tinggal di sana banyak perbuatan baik yang akan menarikmu ikut," kata ulama tersebut.

Didorong niat yang kuat bertaubat, bergegaslah pria tersebut menuju desa yang dimaksud ulama tersebut. Setengah perjalanan, tiba-tiba pria tersebut menderita sakit parah dan sekarat. Malaikat adzab dan malaikat rahmat datang bersamaan mendekati Izrail yang tengah bersiap-siap mencabut nyawa pria tersebut. "Izrail, serahkan jiwa pembunuh ini. Aku akan segera menyeretnya ke neraka,"" kata Malaikat Adzab.

"Tidak Izrail, ia telah bertaubat. Ia seorang hamba Allah. Serahkan kepadaku saja. Aku membawanya ke surga," kata malaikat rahmat. "Tetapi dia belumlah berbuat baik sedikutpun," tanya malaikat adzab. "Setidaknya ia punya iktikad untuk berbuat baik," jawab malaikat rahmat.

Karena kedua malaikat itu berdebat, lalu Allah mewahyukan kepada Izrail untuk menjadi penengah, yakni untuk mengukur langkah yang telah dicapai si pembunuh. Jika lebih dekat dengan maksiat berarti hak malaikat adzab, kalau lebih dekat dengan desa saleh maka menjadi hak malaikat rahmat. Maja diukurlah jarak antar keduanya. Hasilnya, pria tersebut  lebih dekat kepada desa saleh sehingga malaikat rahmat yang berhak membawa jiwa sang pembunuh untuk membawanya ke surga. 

Dengan demikian, taubat menjadi pembuka majbulnya doa dan pembuka rasa bahagia. Mengapa? Karena, esensi taubat itu kembali yakni taba ilallah, kembali kepada jalan - ridha -Ilahi.  Dan yang namanya kembali ia senantiasa menjadi asbab lahirnya kebahagiaan. Ya, tentu, bila hidup itu bagaikan di perantauan, maka setiap perantau pasti rindu pulang. Setiap orang senang bila pulang ke rumah, bahagia bila bisa kembali ke Ilahi. Aamiin ya Mujib al-Sailin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama