Aktivasi Faqir




Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 25 Jumadil Awal 1444

Aktivasi Faqr
Saudaraku, di samping taubat, wara' dan zuhud,  ikhtiar hamba berikutnya yang juga dapat memvasilitasi diri dalam menjemput rasa bahagia adalah faqir. 

Karena hal (kondisi psikologis)nya rasa bahagia, maka maqam faqir ini tentu berbeda dengan term faqir dalam bahasan fikih yang dipahami sebagai ketiadaan atau kekurangan materi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena secara sosial ekonomi, tingkat kesejahteraannya menempati strata terendah setelah miskin, maka faqir juga berhak menerima zakat. 

Adapun faqir secara sufistik merujuk pada pengertian sebagai kondisi yang menghajatkan Allah semata, tidak pada selainNya. Dengan demikian orang-orang yang telah sampai pada maqam ini, maka mereka hanya berharap dan membutuhkan Allah saja, tidak pada sesamanya. Jadi persamaannya, sama-sama berhajat, bila dalam fikih faqir itu berhajat pada materi, maka dalam tradisi sufistik, faqir itu berhajat pada Allah tidak pada sesamanya.

Sesama manusia, juga bernasib sama yakni tergantung dan membutuhkan Allah. Sebesar Fir'aun pun ia, sekaya Qarun sekalipun dirinya, setinggi Haman  ilmunyapun ia, juga gelar dan tahtanya selangit, bila dirinya masih manusia yang berhajat makan minum, maka ia pun juga tergantung pada Allah dan membutuhkanNya, tanpa kecuali. Oleh karenanya ketika berharap kepada manusia, maka bisa saja kecewa. Tetapi berharap dan membutuhkan pertolongan Allah, pasti mendapat jawaban kepuasannya.

Nah dengan maqam faqir ini, sebagai hamba Allah akan terus menuju, merapat dan bersatu dengan keridhaanNya, tidak memerlukan pujian dari sesamanya, tidak bergantung kecuali hanya kepada Allah jua  dan menunjukkan sikap yang memerlukan bantuan dari padaNya; sikap berkehendak hanya kepadaNya. Allah berfirman yang artinya, Hai manusia, kamulah yang faqir (berkehendak) kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji”. (Q.S.Fathir 15).

Uniknya, kefaqiran hamba atas Rabbnya atau kebutuhan hamba atas Rabbnya tidak menjadikannya hina tetapi justru menjadi jalan kemuliaannya sesuai tingkat kebutuhannya pada Rabbnya (kefaqirannya). Karena hanya dengan membutuhkan Allah semata, maka sejatinya ia kaya. Ya kaya bersama Allah ta'ala; kaya karena tidak memerlukan apapun kecuali keridhaan bersamaNya.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama