Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 16 Dzulhijah 1443
Berbagi Sithik Eding
Saudaraku, sebagai makhluk sosial upaya meneguhkan kebersamaan antar satu dengan lainnya merupakan keniscayaan bagi manusia yang berperadaban mulia. Untuk ini di antara akhlak yang mesti dikukuhkan untuk membangun kebersamaan adalah saling tolong menolong dan berbagi.
Sesuai kearifan lokal, masyarakat Jawa, misalnya terbiasa nguri-uri atau melestarikan sikap berbagi sithik eding, berbagi terhadap sesamanya. Berbagi sithik eding atau berbagi "sedikit sama, sama rata, sama rasa" merupakan prinsip hidup yang menjunjung tinggi kebersamaan, kepedulian juga welas asih, dan bisa merasa apa yang dirasakan oleh sesamanya, sehingga merasa senasib dan sepenanggungan; ringan sama dijinjing berat sama-sama dipikul.
Berbagi sithik eding, bahkan sudah dibiasakan dalam lingkungan pendidikan informal di keluarga, sejak masih kanak-kanak. Banyak anak-anak yang dibiasakan berbagi makanan atau mainan atau lainnya. Orangtua biasanya memberi tausiah pengantar "dengan saudara kita harus rukun, adil, dan harus berbagi sithik eding dalam segala hal". Misalnya kalau hanya punya telur satu butir untuk kawan nasi, karena saudaranya empat, maka ya harus dibagi empat sehingga masing-masing memperoleh bagian 1/4. Begitu juga hal-hal lain, termasuk berbagi pekerjaan rumah (job discription). Dan biasanya anak-anak saat itu nrimo (baca qanaah) saja tidak mengeluh apalagi protes. Dari kecil sudah harus tepo sliro welas asih dan bisa merasa.
Ilustrasi berbagi sithik eding yang juga sering dialami di mana-mana, saat naik angkot atau kendaraan umum, setiap orang akan dengan senang berbagi tempat duduk meski sesekali harus saling merapatkan duduknya dengan sebelah kiri kanannya dan atau berusaha merampingkan badannya agar dapat memberi banyak kesempatan yang lain juga kebahagian tempat duduk. Demikian juga saat menunggu antrian dalam satu urusan. Akhlak berbagi sithik eding benar-benar diperlukan.
Saat suatu bangsa di daerah atau negara tertentu dilanda bencana (baca kekeringan, kelaparan, kebanjiran, kerusuhan masal, peperangan, kedzaliman atau lainnya), maka rasa kemanusiaan kita terusik sehingga berupaya berbagi untuk membantu meringankan bebannya. Sekali lagi hidup ini tidak bisa sendiri, meski saat lahir dan saat wafat nanti bisa sendiri-sendiri.
Bayangkan bila tidak memeluk akhlak berbagi sithik eding di dunia ini. Misalnya dalam perhelatan masal, saat disediakan sembako atau hidangan makanan minuman tertentu yang setiap orang dan pendatang diizinkan mengambil sesukanya. Apa jadinya? Wal hasil, orang yang datang atau gilirannya belakangan tentu akan menuai ketidaknyamanan.
Jadi kemampuan berbagi sithik eding bermuara pada keindahan hati. SurgaNya Allah sungguh sangat-sangat luas, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk masuk menikmati kebahagiaannya. Rasanya menjadi tidak etis bila diklaim dan hanya akan dinikmati oleh diri sendiri dan kelompoknya saja. Allahu a'lam
Tags:
Muhasabah Harian