Sri Suyanta Harsa
Muhasabah Harian Ke-3504
Sabtu, 18 Rajab 1446
Fikih Rasa dalam Shalat
Saudaraku, karena shalat fardhu itu sebaiknya dikerjakan secara berjamaah pada waktu-waktu tertentu dan terus menerus, maka pengalaman dan pengamalan shalat sudah berlangsung sepanjang hayat. Dan pengalaman shalat ini tentu bersifat relatif dan mempribadi bagi masing-masing orang. Dan sungguh kaya bila pengalaman spesial ini ditulis dibahasakan.
Dalam konteks ini, tentu sudah banyak di antara kita yang saat shalat memperoleh pengalaman religius yang spesial sehingga dapat merasakan lazatnya iman, dan merasa berbahagia yang bertambah-tambah. Tentu semua orang Islam amat berkepentingan untuk merasakan hal yang serupa.
Namun, sebaliknya; bisa jadi di antara kita saat mengerjakan shalat terutama ketika berjamaah pernah memperoleh pengalaman yang sebaliknya, seperti merasa tidak nyaman atau malah pernah "menggerutu" dalam hati. Meski tak tersampaikan, namun dalam hati kecil berbisik tak mau mengulanginya ikut lagi di sini.
Pertama, perihal durasi waktu. Pelaksanaan shalat yang durasi waktunya tidak memenuhi standar umum, baik terlalu kilat maupun terlalu lambat, terlalu singkat durasi waktunya maupun terlalu kelamaan, menjadikan catatan bagi sebagian jamaah. Oleh karena durasi waktu pelaksanaan shalat sebaiknya mengikuti standar kelaziman atau kepantasan umum yang sudah terjaga.
Ya standar kelaziman atau kepantasan umum, memang tidak ditulis, tetapi bisa dirasakan oleh pada umumnya jamaah. Jadi berapa lama durasi waktu untuk mengerjakan shalat Isya, atau Subuh, Lohor, Asar, dan Magrib atau shalat Jumat, shalat Ied, shalat tarawih tentu relatif dan variatif. Tetapi, tentu terdapat standar kelaziman dan kepantasan umum untuk masing-masing shalat. Misalnya durasi standar kelaziman dan kepantasan umum untuk masing-masing shalat fardhu adalah antara 5 - 15 menit. Makanya ketika pada praktiknya kurang atau melampaui dari durasi standar ini sering menimbulkan "ketidaknyamanan" di antara para jamaah. Oleh karena itu perlu fikih rasa saat shalat.
Kedua, tempat pelaksanaan shalat tidak standar, baik karena kotor, atau sempit, atau ramai dan bising, atau ada "kesemrawutan" lainnya. Dengan kondisi ini secara umum jamaah relatif sulit untuk khusyuk.
Ketiga, perilaku sesama jamaah. Kita merasa senang bila peserta shalat fardhu jamaahnya banyak. Tetapi tentu setiap peserta shalat musti memiliki fikih rasa; turut menjaga sesamanya. Saat shalat berjamaah idealnya tampil bersih, rapi, menawan, memikat hati dan sopan, tidak kumuh, tidak urakan, tidak dekil, tidak ada bau badan (BB), tidak bau keringat atau bau ketiaknya (BK), celananya tidak bau pipis (BP), tidak bau mulut (BM), tidak bau cemekam (BC), tidak bau telinga (BT), tidak bau apek (BA) pakaian atau busananya dan tidak bau yang tidak sedap lainnya. Kalau ada salah satu di antara aroma ini amat berpengaruh pada "tetangganya" sesama jamaah. Oleh karenanya fikih rasa perlu dipraktikkan oleh setiap orang selamanya.
Keempat, ketidakpatuhan pada akhlak shalat. Kiri kanan kita sesama jamaah membaca doa-doa shalat dengan berbisik bersuara, apalagi dengan gerakan yang rada aneh, misalnya mengulang takbiratul ihram berkali-kali dengan mengeraskan suaranya. Oleh karenanya, perlu fikih rasa saat shalat. Jadi bukan hanya diri kita saja yang menginginkan shalat dengan aman nyaman tenang khusyuk, tetapi orang lain demikian juga. Semoga
Tags:
Muhasabah Harian Ke-3504