Muhasabah 14 Dzulhijah 1443
Berbagi itu Mensyukuri
Saudaraku, dalam kajian sikap keberagamaan, tema mensyukuri karunia Ilahi dipastikan tidak akan pernah mengenal kata final apalagi memadahi. Ya, benar, akhlak bersyukur mestinya senantiasa menghiasi setiap diri sampai suatu saatnya kembali nanti. Oleh karenanya perlu terus dikaji dan diwariskan diwarisi oleh antar generasi. Mengapa?
Ya, di antaranya karena karunia Ilahi itu sendiri juga senantiasa tercurah kepada semua hambaNya bahkan semua makhlukNya tanpa jeda tanpa henti. Secara internal diri manusia saja, dari sejak keberadaannya di alam ini sampai saatnya kembali ke haribaan Ilahi Rabby, saban hari senantiasa dalam naungan karuniaNya. Sejak membuka mata di saat dini hari hingga menutup mata kembali untuk tidur di malam hari setiap kita hanya bisa menapaki karunia demi karuniaNya semata.
Oleh karenanya Allah berfirman yang artinya Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah). (Qs. Al-Kaitsar 1-3)
Saking banyaknya karunia Ilahi, maka jangankan menghitungnya, menyampaikan gambarannya dengan kata-kata sajapun tak kan mampu melukiskannya lagi. Karunia Allah benar-benar unlimited; ya kadarnya ya kualitasnya ya keberkahannya. Bahkan dalam ayat yang terjemahannya tertera di atas dinyatakan bahwa karunia Ilahi yang dinikmati manusia itu bagaikan telaga kautsar yang ada di surga. Tentu saja, kedalaman air telaganya, keluasan jangkauannya dan kebermanfaatnya tak kan pernah bisa terkira adanya.
Karunia Ilahi berupa hidup dalam hidayah keberimanan dan keberislaman menempati urutan pertama yang tiada bandingannya. Karena dengan iman dan Islam kita aman selamat sejahtera bukan saja saat hidup di dunia yang fana tetapi juga saat kelak di akhirat yang baqa. Kemudian disusul dengan karunia berikutnya yang tak terhingga, seperti dalam kondisi sehat wal afiat, panjang umur, kepenguasaan ilmu dan hikmah, melimpahnya rezeki dan harta, tingginya tahta yang diduduki dan karunia keluarga yang menyejukkan hati. Duh, bahagianya.
Dengan semua karunia itu, Allah hanya menuntun hamba-hambaNya untuk mensyukuri. Mensyukuri karunia Ilahi itu menwujud dalam totalitas kepribadian yang meliputi syukur di hati, syukur di lati (lisan), dan syukur di pekerti hari-hari.
Hati mensyukuri secara batiniyah dengan meyakini bahwa semua fasilitas, kemudahan dan kenikmatan yang dirasakan merupakan karunia Allah ta'ala. Dan meyakini, ketika disyukuri justru dilipatgandakan kerunia berikutnya, tetapi ketika diingkari justru akan merugi sendiri.
Lati mensyukuri dengan senantiasa memuji Ilahi, memperbanyak menyebut asmaul husnaNya, mengucapkan alhamdulilahi Rabb al-'alamin atau lafal senada lainnya. Betapa bahagianya bila dikaruniai lati atau lisan yang selalu basah dengan dzikir mengingatNya. Alhamdulilah ya Allah, ya Razzaq, Alhamdulilah ya Allah, ya Wahhab...
Pekerti mensyukuri karunia Ilahi melalui bukti-bukti berupa praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Nah dalam hal ini, seluruh ibadah yang dilakukan oleh setiap hamba untuk menggapai ridha Allah ta'ala merupakan bukti syukurnya hamba yang nyata. Termasuk di antaranya yang disebut dalam surat Al-Kautsar di atas dengan menegakkan shalat dan berbagi atau berqurban. Jadi tanda bersyukur itu adalah kita menjalin relasi vertikal dan relasi horisontal menjadi lebih harmonis.
Sekali lagi, berbagi itu menjadi bukti mensyukuri karunia Ilahi. Bagi yang dianugrahi harta, bisa berbagi kepada sesamanya dengan hartanya. Bagi yang dianugrahi ilmu maka bisa berbagi ilmunya agar menerangi. Bagi yang dianugrahi iman, bisa saling berwasiat pada takwa dan kesabaran agar sama-sama selamat dunia akhiratnya. Begitu seterusnya, selama dalam naungan karuniaNya, maka idealnya juga bisa diakses oleh sesamanya. Aamiin ya. Mujib al-Sailin
Tags:
Muhasabah Harian