Fitrah Suka Lawan Jenis

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 8 Zulkaidah 1443

Fitrah Suka Lawan Jenis
Saudaraku, di samping naluri bertuhankan Allah, Islam, suci, tak membawa dosa warisan, asli apa adanya, membawa potensi internal, baik dan cenderung pada kebaikan, setiap diri juga lahir ke dunia ini dalam kondisi fitrah, cenderung menyukai lawan jenisnya. 

Setiap kita yang dicipta sebagai laki-laki sudah lazim cenderung menyukai perempuan. Dan sebaliknya, kita yang dicipta sebagai perempuan cenderung menyukai laki-laki. Kalau ada laki-laki yang cenderung menyukai dan mencintai sesama laki-laki (gay), atau perempuan yang menyukai dan bercinta dengan sesama perempuan (lesbian), maka tidak lazim, sehingga nyata telah menyalahi fitrahnya. Mengapa kontra fitrah? 

Allah berfirman yang artinya, Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.'' (QS Al-Syu'araa 165-166)

Juga Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka, "Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian?" Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kalian ini adalah kaum yang melampaui batas."(QS. Al-A'raf 80-81)

Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkirbalikkannya negeri kaum Lut, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar,yang diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang yang zalim. (QS. HUD 82-83) 

Ya jelas saja. Rasanya hewan saja yang tidak dianugrahi akal pikiran, kalau "bercumbu" itu ya dengan lawan jenisnya, lalu terjadi perkawinan, sehingga kelestarian jenisnya terjaga. Masak, manusia yang padanya dianugrahi akal pikiran (dan hati lagi), bisa-bisanya "bercumbu bahkan bercinta" dengan sesama jenisnya? Ini bisa terjadi pasti ada penyebabnya. Logika yang sudah dirusak atau betapa rapuhnya sosiokulturalnya! Betapa longgarnya kontrol keluarga! Betapa agama tak berperan dalam hidupnya! 

Sekali lagi, gay dan lesbian itu, di samping "perilaku fakhsya", juga pertanda berhentinya kehidupan, tidak akan ada kelahiran. Dengan demikian menjadi seorang gay atau lesbian haram hukumnya. Sama halnya dengan tabatul membujang selamanya. Diharapkan sangat bagi yang gay, lesbian atau yang bercita-cita bertabatul segera bertaubat agar selamat dunia akhirat.

Fitrah suka terhadap lain jenis kemudian melahirkan pranata ta'aruf (saling mengenal antara laki-laki dan perempuan), pranata kitbah (lamaran untuk dijadikan istri) dan pranata nikah. Dari sinilah kemudian muncul pranata keluarga. Coba sangat etis dan bermartabat, bukan? Begitukah, betapa Islam memuliakan manusia?

Sebagai di antara tuntutan kemanusiaan, tuntunan kemuliaan dan tatanan peradaban, keluarga memiliki peran penting dalam Islam. Lazimnya sebuah keluarga (inti) terdiri dari seorang suami, istri dan anak meniscayakan kebersamaan dalam mewujudkan cita cinta terhadap agamanya dan kesejahteraan bersama. Di sinilah dipahami bahwa berkeluarga juga sebagai unit terkecil dari masyarakat yang sedang mewujudkan keberislaman atas diri dan keluarganya di tengah kehidupan sosio kultural masyarakatnya. 

Sebagai aktualusasi fitrah dan pranata penting bagi terbentuknya masyarakat yang berkemajuan, tuntutan berkeluarga dengan mudah dapat ditemukan dalam al-Qur'an dan dan hadits nabi. Di antara teks suci yang relevan adalah Allah berfirman yang artinya Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu lsendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda agi kaum yang berfikir. (Qs. Al-Rum 21)

Dari Ibu Mas'ud ra Rasulullah saw bersabda, "Wahai generasi muda, barang siapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia menikah karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barang siapa yang belum mampu (menikah) hendaknya berpuasa, karena ia (puasa itu) dapat mengendalikanmu (HR al-Bukhari dan Muslim)

Dan dalam riwayat lain, dari Aisyah ra Nabi Muhammad saw juga bersabda, "Nikah itu termasuk sunnahku. Barangsiapa yang enggan mengamalkan sunahku maka ia bukan termasuk golonganku. Menikahlah kalian, karena sesungguhnya aku akan bangga dengan kalian di hadapan umat-umat lain. Dan barangsiapa yang memiliki kemampuan maka menikahlah, dan barangsiapa yang belum mampu maka bepuasalah, karena puasa itu perisai (pemutus syahwat jima’) baginya.” (HR. Ibnu Majah)

Dalam memenuhi tuntutan normativitas di atas terdapat ragam pengalaman yang berbeda-beda. Kemampuan (ba'ah) untuk menikah yang lazim dipersyaratkan tetap dipahami secara beragam. Semuanya bertujuan agar segala hajat yang diperlukan dalam mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah menjadi nyata. 

Subyektivitas saya, di samping kemampuan berupa kesanggupan memberi nafkah lahir dan batin, maka "kesiapan edukatif" menjadi sangat penting. Sebagai seorang suami dan istri harus saling asah asih asuh, saling ingat mengingatkan pada kebenaran dan takwa, bersiap menjadi pendidik atau sebagai guru kodrati bagi anak-anaknya. 

Inilah aktualisasi fitrah suka lawan jenis lalu melahirkan pranata keluarga yang dengannya bisa menyenpurnakan keislamannya, tenteram sakinah mawaddah warahmah, dan kelestarian jenis manusia terpelihara. Aamiin ya Mujib al-Sailin
.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama