Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 10 Zulkaidah 1443
Fitrah Suka Harta
Saudaraku, di samping suka terhadap lawan jenisnya yang kemudian melahirkan pranata nikah dan berkeluarga, kesukaan terhadap harta semisal ragam jenis berlian, kuda pilihan, kendaraan, binatang ternak, sawah ladang, deposito uang simpanan di bank-bank dan emas picis rojobrono lainnya juga tak bisa disembunyikan oleh manusia. Ya, suka harta, suka kaya, suka emas permata. Ini tentu lumrah, tapi bila serakah maka di samping tidak berkah juga kontra fitrah.
Saking sukanya terhadap harta, maka sebagian besar waktu dan perhatiannya bisa-bisa hanya diabdikan sepenuhnya untuk harta. Mereka ini ya, dari bangun tidur di pagi hari sampai tidur kembali di malam hari, waktunya digunakan untuk memikirkan harta dan bagaimana meraihnya.
Bagi yang "gila harta" akan senantiasa menggebu-gebu, ngoyo dalam berusaha, mencari, menemukan, menambah dan terus menyimpan ragam harta benda, satu demi satu, sepetak demi sepetak tanah, segepok uang demi segepok lainnya; satu gunung emas ke gunung emas berikutnya. Demi harta, rasanya tanpa mengenal puas, tanpa mengenal lelah, tanpa mengenal kata final, terus koma dan koma sampai benar-benar tak disadarinya sudah hampir titik di akhir kehidupannya di dunia ini.
Memang sih, kesukaan terhadap harta bukan tanpa dasar. Bahkan secara teologis normatif, landasannya dapat kita cermati pada firman Allah dalam al-Qur’an, yang maknanya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: ‘Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?’
Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (Qs. Ali ‘Imran 14-15)
Karena saat lahir tidak membawa harta apa-apa, maka dipastikan datangnya harta atau diperolehnya belakangan. Berarti harta itu tempelan, titipan atau asesoris yang menghiasi untuk kehidupannya. Nah karena sifatnya sebagai hiasan, maka hanya akan terasa indah pada masanya. Suatu saat tak kan indah lagi, bahkan tak diperlukan lagi; kita pasti akan menanggalkannya atau hiasan itu yang meninggalkan kita.
Maka selagi bisa apalagi berkuasa, raihlah harta sebanyak-banyaknya, tapi tetap dengan memilah dan memilih harta yang halal saja, ikhtiarnya juga yang halal saja. Mesti diingat saat berangkat ke alam baka, harta tak kan dibawa serta. Oleh karenanya tidak etis bila mencuri atau korupsi untuk memperkaya diri, tidak elok bila mark up atau mengelabui untuk menumpuk harta; tidak bagus bila kaya dengan menipu atau pura-pura tak tahu halal haramnya sesuatu. Bila persoalan harta, diperoleh dengan cara-cara yang tak wajar, maka akan dilabeli "kurang ajar", seperti orang tidak makan sekolahan saja.
Jadi, suka harta itu lumrah,
sebagai bagian dari "fitrah".
Maka agar berkah,
ya mesti diniati untuk ibadah,
diikhtiari secara fillah, dan
ditasharufkan dengan penuh amanah. Aamiin ya Mujib al-Sailin
Tags:
Muhasabah Harian
makasih ust
BalasHapus