Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 11 Zulkaidah 1443
Fitrah Makan Minum
Saudaraku, di antara kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh setiap orang adalah makan minum. Inilah mengapa untuk bisa mengonsumsi makanan dan minuman hatta sekedar meneruskan hidupnya segala daya upaya dilakukan. Nah, mengapa makan dan minum menjadi niscaya?
Ya, karena makan minum itu termasuk fitrah manusia. Jadi suka makan minum itu lumrah saja. Oleh karenanya postingan aneka makanan minuman, saat meracik, memasak, menyajikan dan mengonsumsinya menjadi sangat populis di laman media massa. Sedang memasak apa minta diphoto untuk update statusnya; Lagi makan atau minum apa gitu langsung pencet hp selfinya; lagi menikmati kuliner khas daerah mana langsung diapload di wa, fb, twiter, instagram lewat hpnya, dan seterusnya. Itulah, makan minum, juga aneka makanan dan minuman lazim menghiasi laman media.
Nah agar maslahah, Islam mengatur sedemikian rupa dan melarang umatnya menyiksa diri dengan tidak makan minum selamanya, bahkan meniatkan untuk puasa sekalipun. Kalaupun berpuasa, ya ada batasannya yakni dari terbit fajar sidik hingga terbenam matahari. Demikian pun juga dilarang berpuasa sepanjang masa, karena terdapat hari-hari tertentu yang dikenal festival makan minum yakni di dua hari raya dan tiga hari tasyrik dimana kita haram mempuasainya.
Sekali lagi makan minum adalah fitrah manusia. Sendainyapun ada yang terpaksa tidak makan minum lantaran kepapaannya, maka jiran dan utamanya ulil amri bisa-bisa harus menanggung dosanya. Mengapa ada tetangga atau rakyatnya yang sampai tidak ada makanan atau minuman untuk sekedar menegakkan tulang sulbinya? Lalu apa yang diurusi? bila persoalan yang sangat mendasar ini saja sudah luput.
Karena makan minum itu fitrah manusia, maka setiap orang senantiasa berusaha mendapatkannya dan mengonsumsinya. Ya setidaknya agar dapat meneruskan kehidupannya. Saking pentingnya kebutuhan makan minum ini, bahkan banyak daerah juga negara yang dilanda perang atau kerusuhan dan kejahatan karena kelaparan dan kehausan.
Oleh karena itu, Islam mengatur soal makanan dan minuman, juga koridor cara memperoleh, mengolah sampai mengonsumsinya.
Pertama, jenis makanan dan minuman harus benar-benar halal, baik dan bergizi, bukan yang haram, apalagi buruk, mebjijikkan, apalagi membahayakan. Nah, kita musti memilah dan memilih makanan atau minuman yang akan dikonsumsi untuk diri dan keluarga tercinta, yakni yang halalan thayiban.
Halal dan baiknya makanan dan minunan terletak pada kandungan gizi, kemanfaatannya bagi tubuh dan kemaslahatan perilakunya bagi yang mengonsumsinya. Mengapa daging anjing, babi, binatang buas bertaring, sesuatu yang menjijikkan, khamar, ganja, narkotika dan sejenisnya adalah haram dan dilarang dikonsumsi? Karena semua ini berbahaya bagi tubuh dan akal pikiran.
Kedua, Islam menuntun agar kita mengusahakan makanan dan minuman dengan niat ibadah. Karena setiap orang memiliki kebutuhan akan makanan dan minuman, maka berkewajiban berikhtiar untuk mendapatkannya. Saat mencari bahan makanan dan minunan, tentu harus mempertimbangkan cara memperolehnya, kemaslahatannya dan kebaikan seluas-luasnya bagi kehidupan. Misalnya dengan bertani, berlayar, berkebun, berniaga, berkantor, atau bekerja apapun ia secara cerdas dan ikhlas, tidak dengan korupsi, tidak dengan mencuri, tidak dengan mengelabui, tidak dengan menipu, tidak dengan cara-cara yang dilarang oleh Islam lainnya. Mengapa makanan dan minuman hasil dari pencurian, penipuan, perampokan, korupsi atau cara yang dilarang lainnya menjadi haram dan dilarang dikonsumsi? Karena bisa merusak iman seseorang, membahayakan jiwa dan perilakunya cenderung yang haram.
Ketiga, tidak boros atau berlebih-lebihan (israf) saat mengonsumsi. Meskipun sudah berhasil memperoleh bahan makanan dan minunan yang melimpah dan semua itu halalan thayiban baik dari cara maupun jenisnya, tetap saja kita dituntun untuk sesederhana mungkin dalam mengonsumsinya atau tidak israf, tidak boros, tidak berlebih lebihan. Tidak elok berprinsip hedonik, hidup untuk makan. Padahal mustinya makan untuk hidup sehingga peran abdullah dan khalifatullah dapat lestari ditunaikan.
Di samping itu, saat mongonsumsi makanan atau minunan musti berlaku tenang tidak terburu-buru, sambil duduk pantang berdiri atau berbaring, mengawali dan mengakhirinya dengan doa.
Saat makan minum, seorang muslim yang baik harusnya tidak mencapai derajat kekenyangan. Saat pesta atau di acara kondangan, atau saat ada acara di hotel tidak etis bila menumpuk-numpuk makanan di piring sendiri sehingga menggunung, apalagi tidak menghabiskannya. Bila mengambil air minuman, air mineral, kolak atau air buah, juga tidak boleh disisakan. Oleh karena itu mengambil makanan minuman di hadapannya saja dan untuk porsi secukup dua pertiga isi perut saja. Menyisakan makanan dan minuman dalam sepiring yang sudah diambil sendiri adalah pantang karena kotra etika. Boleh jadi pada sisa makanan dan minunan itulah gizi dan berkahnya, sementara yang sudah terlanjur masuk ke perut adalah ampasnya.
Dan tentu, tidak etis mencela makanan atau minunan yang tersedia atau disediakan oleh sesiapapun dia, apalagi disediakan oleh orangtua atau istri keluarga kita sendiri. Bila tidak berkenan dengan rupa, rasa dan seleranya, maka makanan dan minuman yang sudah terlanjur diambil dicicipi mestinya tetap dihabiskan juga tanpa mencelanya. Dengan kearifan sikap ini, semoga justru menjadi berkah karenaNya. Aamiin ya Mujib al-Sailin
.
Tags:
Muhasabah Harian