Sri Suyanta Harsa
Muhasabah Hari Putih Ke-1 Sunah Puasa, 13 Zulkaidah 1443
Fitrah Suka Berbagi
Saudaraku, kata siapa "manusia itu kerit", siapa bilang "orang itu pelit", sopo sing ngendiko "nek uwong kuwi medit". Kalaupun iya pasti lingkungan yang membuatnya seperti itu. Bila benar pasti faktor ajar yang kurang ajar. Seandainya betul pasti faktor eksternal yang memengaruhinya. Mengapa?
Iya, karena pada dasarnya setiap orang itu suka berbagi. Bahkan sejak lahir ke atas bumi ini, suka berbagi, setidaknya kehadirannya sudah membagi rasa bahagia pada kedua orangtua dan keluarga besar yang menantinya. Inilah fitrah sebagai asal kejadian setiap insan. Inilah karunia Allah Rabb semesta alam.
Allah sudah meniupkan sebagian ruhNya dan naluri berbagi pada setiap diri jauh-jauh hari. Aslinya, tidak ada seorangpun di dunia ini yang mampu tersenyum di atas tangisan sesamanya. Pada dasarnya, tidak ada seorangpun yang sanggup menahan tangannya untuk berbagi saat menyaksikan saudaranya menghiba sesuap nasi untuk menyambung hidupnya. Inilah fitrah, godspot benih-benih akhlak mulia yang dititip Allah pada setiap hati hamba-hambaNya.
Dengan kemahakasihsayangNya, Allah menyediakan godspot jauh sebelum kelahirannya pada setiap jiwa sehingga dapat berperan menjadi wakilNya di bumi (khalifatu fi al-ardhi) sesempurna penciptaanNya yang rahmatan li al-'alamin, yang santun, penolong, pemaaf dan pelindung satu atas lainnya. Begitulah kita diberitahu oleh Nabi, juga generasi salafus shalih para pendahulu dan kitapun berguru dengan itu.
Dengan kemampuan yang tersedia, masing-masing kitapun senantiasa berusaha menebar kasih, menyemai cinta, berbagi semampunya, tuk mendulang pahala, meraih keridhaanNya.
Ya berbagi, memang tidak sebatas materi, tetapi juga atensi serasa memadahi, sehingga rasa senasib sepenanggungan terpatri di hati menyembul dalam laku sehari-hari. Oleh karenanya berbagi itu persoalan karakter, tidak otomatis bergantung pada kaya harta atau miskin papa, maka sesiapa saja bisa turut serta.
Hanya saja, praktik berbagi tetap ada dinamikanya, setidaknya pada lingkungan kesehariannya. Tapi, lingkungan keseharian orang bukankah berbeda-beda, maka praktik berbagi juga mesti dibagi atau gilir gumanti Setidaknya pada tetangga dimana tinggal, dan atau tetangga sesama kolega setempat bekerja, sekantor, seprofesi, seasal daerah dan atau tetangga sesama di organisasi dan kemasyarakatan, dan atau saudara sesama di group wa, sesama di fb, twiters, instagram dan seterusnya.
Misalnya, jelang dan saat hari raya idul adha ini, tentu ajaran berqurban dengan berbagi pada sesama menjadi amat aktual. Panitiapun bekerja memvasilitasi agar jamaah mendulang pahala. Maka tidak heran bila seseorang atau sebuah keluarga mampu berqurban di banyak tempat yang semuanya adalah saudara atau tetangganya (ya tetangga setempat tinggal, sekerja, seprofesi, sesama group wa, sesama group fb dst).
Tetapi kita juga cukup memahami apabila ada seseorang atau keluarga yang hanya bisa berbagi di sini namun luput di tempat atau saudara yang berbeda di tempat lainnya. Misalnya mampu berqurban di kampungnya saja, tidak di tempat kerja atau sebaliknya. Oleh karena itu kita yang berkebetulan rekan sekerja tidak etis lalu membatin -apalagi menuduh - ianya kerit, pelit, atau medit. Demikian juga tawaran kesempatan berbagi, atau sedekah, atau wakaf atau infak atsu beasiswa atau orangtua asuh lainnya yang disediakan oleh yayasan tertentu, masjid, dayah/pesantren, program tahfiz atau apa.
Di samping itu karena garisan tangan, realitas hidup dan kemampuan seseorang atau keluarga berbeda-beda, maka ajaran berbagi bisa saja masih sebatas cita-cita pada sebagian orang/keluarga. Bagi kita atau saudara-saudara yang termasuk kategori ini, tentu bisa dimaklumi bahkan mesti menjadi mustahak atas kenudahan dari sesama lainnya.
Tetapi tentu, kehidupan tetap saja menyediakan pengalaman dan pengamalan yang beragam. Realitasnya setelah hidup berapa lama di dunia ini, ada saja yang naluri berbagi tetap tersembunyi sehingga tidak aktual membumi. Fitrahnya kemudian tertutupi oleh selainnya.
Nah, bila benar terjadi pada diri sendiri, maka layak bertanya bermuhasabah; mengapa bisa berubah? Kemana naluri berbagi pergi? Mengapa bisa hilang? Lalu bagaimana bisa ada manusia yang merasa senang atas saudaranya yang bernasib malang? Bagaimana logika akalbudinya sehingga mempersulit urusan sesamanya padahal bisa dipermudah? Bagaimana hati tidak terusik saat di depan mata ada saudara yang hidupnya terhimpit. Pertanyaan senada ini rasanya sudah relatif mengusik. Bila belum juga! Maka bertaubat sebelum terlambat agar beroleh berkat, selamat dunia akhirat. Aamiin ya Mujib al-Sailin
Tags:
Muhasabah Harian