Fitrah Ketakberdosaan

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 4 Zulkaidah 1443

Fitrah Ketakberdosaan
Saudaraku, di antara prinsip keadilan itu adalah setiap orang bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri. Di Jawa ada ungkapan "ngunduh wohing pekerti", menuai hasil perbuatannya sendiri. Bila menyemai padi maka suatu saat pasti memanen padi; menanam durian maka berbuah durian, dan suatu saat akan panen durian. Kalau tidak menyemai apapun, lalu bagaimana kita bisa memanen? 

Itulah kira-kira logika keadilan berjalan. Sama halnya dengan ungkapan "berani berbuat harus berani bertanggung jawab". Tidak adil bila seseorang harus menanggung sesuatu yang tidak dilakukannya.

Allah berfirman yang artinya Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allahlah kembali(mu). (Qs. Fathir 18)

Dalam ayat lain Allah juga berfirman yang artinya Katakanlah (Muhammad), “Apakah (patut) aku mencari tuhan selain Allah, padahal Dialah Tuhan bagi segala sesuatu. Setiap perbuatan dosa seseorang, dirinya sendiri yang bertanggung jawab. Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan.” (QS. Al-An’am 164).

Dalam ayat lain lagi Allah juga berfirman yang artinya: Jika kamu kafir (ketahuilah) maka sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu dan Dia tidak meridai kekafiran hamba-hamba-Nya. Jika kamu bersyukur, Dia meridai kesyukuranmu itu. Seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sungguh, Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam dada(mu). (Qs. Al-Zumar 7)

Dari berbagai ayat berikut riwayat dalam tradisi Islam menegaskan bahwa manusia harus bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri bujan atas lainnya, ayah ibunya sekalipun. Oleh karena itu setiap orang dilahirkan ke dunia ini dalam kondisi suci,  fitrah ketakberdosaan.  Hadits riwayat al-Bukhari bahwa Nabi Muhammad saw bersabda,


كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ تَنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟

Artinya: Setiap anak dilahirkan di atas fitrah (ketakberdosaan). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya? 

Dengan demikian, setiap orang dilahirkan dalam kondisi putih bersih tidak membawa dosa apapun, tidak menanggung dosa warisan apapun sekalipun ia dilahirkan dari keluarga yang rusak akidahnya, atau keluarga yang bejat akhlaknya atau juga rusak sosiokulturalnya. Bahkan seseorang baru bertanggungjawab atas perbuatannya setelah dirinya tamyiz yakni bisa membedakan antara yang hak dan yang bathal; yang baik dan yang buruk.

Demikian juga halnya anak jadah, anak hasil hubungan gelap atau hubungan di luar nikah. Dosanya berpulang kepada kedua orangtuanya yang tergelicir dalam lembah perzinaan. Adapun anak hasil perzinaan itu sendiri dalam kondisi fitrah, tak berdosa dan tidak tahu menahu tentang dosa orangtuanya. Maka, seharusnya pelaku perbuatan dosa itu sendiri yang menanggung segala resiko, baik hukum maupun adat yang berlaku. Adapun anak, tokh tidak minta dilahirkan, maka tidak berhak atas resiko dari perbuatan ayah ibunya, termasuk hinaan atau persepsi miring dari masyarakat umumnya.

Dengan demikian dalam Islam tidak mengenal dosa warisan. Karena dosa warisan itu menyalahi rasa keadilan. Orang tidak berbuat, mengapa musti bertanggung jawab. Hal ini sekaligus untuk menegaskan bahwa setiap orang hadir ke atas bumi ini memiliki fitrah ketakberdosaan. 

Dosa atau pahala akan melekat pada seseorang seiring dengan taklif yang diingkari atau ditaati. Bila ingkar pada titah Allah yang dimenangkan dalam kehidupan, maka dosa yang didapatkan. Bila taat terhadap titahNya yang dimenangkan dalam menjalani kehidupan, maka pahala jauh melimpah tekah tersedia. 

Sudah barang tentu, kita dituntun untuk dapat hidup (bernafas, beristirahat, berniat, berbicara, berperilaku) islami, sehingga di satu sisi mampu mempertahankan kondisi ketakberdosaan dan di sisi lain mampu memperbanyak pundi-pundi pahala. Pundi-pundi pahala buah dari takwa inilah yang akan kita bawa sebagai bekal pulang ke haribaan Allah ta'ala. Bilapun terlanjur berbuat dosa, maka segera akan disadarinya sehingga lebih cepat taubatnya. Aamiin ya Mujib al-Sailin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama