Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 3 Zulkaidah 1443
Fitrah Kesucian
Saudaraku, dalam iman Islam, kesejatian manusia pada hakikatnya terletak pada sisi psikhis dalam dirinya. Meskipun demikian, tentu tidak berarti kita boleh mengabaikan sisi luar lahiriyahnya. Sisi luar lahiriyah tetap penting untuk mendukung dan memaksimalkan kesejatian diri manusia. Karena tanpanya menjadi tidak sempurna sebagai manusia.
Bila sisi luar bersifat lahiriyah tersusun dan berasal dari unsur material jasadiyah berupa tanah-air-udara dan api, maka sisi dalam bersifat ruhaniyah berasal dari unsur ilahiyah yang ditiupkan Allah ke atasnya. Allah berfirman yang artinya, Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. Shaad 72)
Para ulama di antaranya kemudian menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ruh-Ku dalam normativitas di atas adalah sifat Allah yang termasuk sifat ma’ani. Yakni sifat yang berkaitan dengan perbuatan dan kehendakNya seperti qudrah (kekuasaan), iradah (kehendak), ilmu (pengetahuan), hayat (kehidupan), sama’ (pendengaran), bashar (penglihatan), kalam (pembicaraan).
Oleh karena itu dengan sifat qudrahNya Allah dan tentu atas kemahamurahanNya meniupkannya kepada manusia, maka manusia memiliki kekuasaan tententu atau kekuatan melakukan sesuatu. Dengan anugrah tiupan sifat iradah Allah, sehingga manusia memiliki kehendak atau keinginan; dengan anugrah tiupan sifat ilmu Allah, sehingga manusia memiliki ilmu pengetahuan; Dengan anugrah tiupan sifat hayat Allah, sehingga manusia hidup dan memiliki kehidupan; Dengan anugrah tiupan sifat sama’ Allah, sehingga manusia memiliki pendengaran; Dengan anugrah tiupan sifat bashar Allah, sehingga manusia memiliki penglihatan; dan dengan anugrah tiupan sifat kalam Allah, sehingga manusia mampu berkata-kata.
Demikian juga halnya tiupan ruh. Allah berfirman yang artinya Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ruh sifat-Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. Sajadah 9).
Tiupan ruh tidak pernah putus hingga ruh tersebut dicabut kembali oleh Allah dari jasad manusia saat hari kematiannya. Dan selama kebersamaannya dengan unsur jasad, ruh lah yang mengatur dan bertasaruf (bertindak) pada jasad sebagaimana halnya raja dengan kerajaan dan keraninya. Keperluan ruh terhadap badan dapat diumpamakan dengan perlunya bekal bagi musafir. Seorang hamba tidak akan sampai kepada Tuhan kalau ruh tidak mendiami jasadnya selama di dunia. Tingkat yang lebih rendah harus dilalui untuk sampai pada tingkat yang lebih tinggi, bahkan hingga puncaknya.
Tentu, karena tiupan ruh yang diagurahkan ke dalam diri manusia berasal dari Allah yang maha suci, maka ruh manusia juga dalam keadaan suci. Dari sinilah dipahami bahwa di antara fitrah manusia adalah kesucian.
Dengan kemahamurahanNya, Allah menjadikan ruh dalam diri manusia lokus sumber kehidupan dan sumber moral yang baik. Karenanya ruh itu fitrah, suci, halus, bersih, dan bebas dari pengaruh hawa nafsu yang destruktif. Sedangkan sisi dalam yang berpotensi pada hal-hal yang tidak baik digunakan istilah al-nafs, sehingga di samping nafsu muthmainah, dalam diri manusia juga terdapat nafsu lawwamah dan nafsu amarah. Inilah nafsu yang berpotensi mengotori diri manusia.
Di samping itu, tentang fitrah kesucian juga dapat dirujuk pada hadits riwayat al-Bukhari bahwa Nabi Muhammad saw bersabda,
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ تَنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟
Artinya: Setiap anak dilahirkan di atas fitrah kesucian. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya?
Setelah hidup bersama unsur jasad selama perjalanannya di dunia ini, kesucian diri kesucian hati yang awalnya nurani menjadi potensial dengan tidak menutupi kemungkinan mengalami dinamikanya tersendiri, termasuk kotor karena dikotori atas ulah tangan manusia itu sendiri.
Daki yang mengotori jiwa atau hatinya itu adalah dosa yang sengaja atau tidak diperbuat oleh manusia. Ketika daki dosa semakin banyak ditumpuk dan bertumpuk tanpa disertai pembersihan (tazkiyah) dengan taubat dan beribadah misalnya, maka hati bisa dipenuhi dengan noktak hitam dari dosa-dosa. Saking banyak yang dikakukan dan lamanya dosa yang dipendan, sampai-sampai hatinya bisa gelap tertutupi (berhati dzulmani), bahkan ada cover (kafir) gelap pekat atas hatinya.
Oleh karenanya dalam Islam, tentu, pesan moralnya kita dituntun untuk mempertahankan fitrah kesucian sepanjang hayat dikandung badan. Dan dalam perjalanannya seandainya hati terlanjur kotor atau terkotori, maka bersegera bertaubat (taba ilallah) kembali kepada Allah seraya menyertainya dengan beribadah kepadanya. Bila ini terjadi, maka dapat dikatakan sedang berproses kembali ke fitrah kesuciannya. Allah itu maha suci, menyukai orang-orang yang mensucikan diri (2:222).
Merengkuh kesucian itu sangat signifikan. Apalagi mengingat bahwa dalam fitrah kesucian sejatinya terdapat keikhlasan untuk mengabdi hanya kepada Allah, kebaikan hati yang mewujud dalam budi pekerti, kedermawanan yang dapat muleberi kebermanfaatannya, kejujuran yang menjelma dalam semua urusan, kemurahan hati, kerelaan berkurban, kebersediaan dalam ketaatan, dan ketulusan hati yang semuanya terjalin berkelindan satu dengan lainnya. Aamiin ya Mujib al-Saailin
Tags:
Muhasabah Harian