Berbagi itu Fitrah

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 1 Dzulhijah 1443

Berbagi itu Fitrah
Saudaraku, bermaksud menyambung bahasan fitrah yang sudah berjalan sebulan Zulkaidah yang baru saja berlalu dengan bahasan berikutnya, maka bulan Dzulhijah ini muhasabah dibuka dengan tema yang menegaskan bahwa berbagi itu fitrah. Apalagi berbagi pada bulan Dzulhijjah menjadi sangat aktual. Ya karena Dzulhijah ini bulan berkurban, bulan mengukuhkan ajaran berbagi, melestarikan nilai filantropi, ikhtiar menggapai ridha Ilahi.

Ya, berbagi juga dikenal filantropi, nilainya begitu indah, pesonanya begitu memikat, pencintanya menjadi dekat, dekat dengan Allah, dekat dengan sesama, dekat dengan surga jauh dari neraka.  Ya filantropi itu merujuk pada ragam atensi dan tindakan untuk mencintai sesama, mengapresiasi nilai kemanusiaan, berbagi perhatian, menyumbangkan waktu, memberkahkan harta, mendistribusikan uang untuk amal kebajikan, dan mendarmabaktikan tenaga, tolong menolong antar sesama. Inilah fitrah, asal kejadian dan kecenderungan setiap orang.

Hati siapa yang tidak terbuka, terhadap ajaran yang begitu mulia. Ya, mulia dalam pandangan Rabbuna, mulia dalam pandangan manusia. Mendekati Ilahi Rabby dengan mendekati sesama insani. Mencintai Allah dengan mencintai sesama ciptaanNya. Menggapai ridhaNya melalui kebahagiaan hamba-hambaNya. Menjemput perkenanNya dengan perkenan hamba-hambaNya.

Mata siapa yang tak sembam menyaksikan realitas hamba-hambaNya begitu ikhlas dalam pengabdian hanya kepadaNya. Emosi siapa yang tak luluh, misalnya saat membaca kisah nyata kurban untuk Emak. 

Kisah ini diceritakan oleh seorang pedagang hewan kurban pada Idul Adha tahun lalu, tentang sebuah kejadian yang membuat hatinya amat tersentuh, berikut kisahnya:

Seorang wanita datang memperhatikan dagangan saya. Dilihat dari penampilannya sepertinya tidak akan mampu membeli. Begitu saya bergumam sendiri, karena naluri selama inu. Namun tetap saya coba hampiri dan menawarkan kepadanya.
.
"Silakan bu..!" Lantas ibu itu menunjuk salah satu kambing termurah sambil bertanya : "Kalau yang itu berapa Pak?" "Yang itu Rp. 1.700.000.- bu" jawab saya.
.
"Harga pasnya berapa?" tanya kembali si Ibu. Rp."1.600.000.- deh, harga segitu untung saya kecil, tapi biarlah" jawab saya.
.
"Tapi, uang saya hanya 1.500.000.- boleh pak." pintanya. Waduh, saya bingung, karena itu harga modalnya, lalu saya berembug dengan teman sampai akhirnya diputuskan diberikan saja dengan harga itu kepada ibu tersebut.

Saya pun mengantar hewan qurban tersebut sampai ke rumahnya. Begitu tiba di rumahnya. Astaghfirullah... Allahu Akbar... terasa gemetar seluruh badan karena melihat keadaan rumah ibu itu. Rupanya ibu itu hanya tinggal bertiga, dengan ibunya dan puteranya di rumah gubug reot berlantai tanah tersebut.

Saya tidak melihat tempat tidur kasur, kursi ruang tamu, apalagi perabot mewah atau barang-barang elektronik.yang terlihat hanya dipan kayu beralaskan tikar dan bantal lusuh. Di atas dipan, tertidur seorang nenek tua kurus.

"Mak, bangun mak, nih lihat saya bawa apa?" kata ibu itu pada nenek yang sedang rebahan sampai akhirnya terbangun. "Mak, saya sudah belikan emak kambing buat kurban, nanti kita antar ke Masjid ya mak." kata ibu itu dengan penuh kegembiraan".

Si nenek sangat terkaget, tapi nampak jelas raut bahagia di wajahnya, ia segera berjalan keluar dengan langkah yang gontai karena usianya yang senja. Sambil mengelus-elus kambing, nenek itu berucap: Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga kalau emak mau berkurban."

"Nih Pak, uangnya, maaf ya kalau saya nawarnya kemurahan, karena saya hanya kuli nyuci di kampung sini, saya sengaja mengumpulkan uang untuk beli kambing yang akan diniatkan buat kurban atas nama emak saya." Kata ibu muda itu.

Kaki ini bergetar, dada terasa sesak, sambil menahan tetes air mata, saya berdoa, " Ya Allah, ampuni dosa hamba, hamba malu berhadapan dengan hamba-Mu yang pasti lebih mulia ini, seorang yang miskin harta namun kekayaan imannya begitu luar biasa."
.
"Pak, ini ongkos kendaraannya." Panggil ibu itu.  "Sudah bu, biar ongkos kendaraannya saya saja yang bayar." kata saya sambil menyembunyikan mata saya yang sudah berkaca-kaca. Saya cepat pergi sebelum ibu itu tahu kalau mata ini sudah basah karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah sudah mempertemukan dengan hamba-Nya yang dengan kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya meski dengan segala keterbatasan ekonominya.

Masya Allah. Rupaya untuk mulia ternyata tidak harus dengan harta berlimpah, jabatan tinggi apalagi kekuasaan. Kita bisa belajar keikhlasan dari ibu itu untuk menggapai kemuliaan hidup, bukan untuk dirinya, tapi demi Ibunda tercintanya.

Berapa banyak di antara kita yang diberi kecukupan penghasilan, namun masih saja ada kengganan untuk berkurban, untuk berbagi. Padahal bisa jadi harga handphone, jam tangan, tas, ataupun aksesoris yang menempel di tubuh kita harganya jauh lebih mahal dibandingkan seekor hewan kurban. Namun kita selalu sembunyi di balik kata tidak mampu atau tidak dianggarkan.

Begitulah fitrah itu nyata. Tinggal aktivasi dan aktualisasinya saja terserah pada kita. Apalagi ajarannya begitu melegenda. Nah, rasanya tak ada yang bimbang, dan tak ada yang ragu akan nilai kemuliaan berbagi, karena landasan teologis normatifnya begitu melimpah bisa dibaca, bisa diresapi, bisa ditindaklanjuti, sehingga bukan saja nilai keluhurannya terpatri di hati, tetapi juga senantiasa mewujud dalam kehidupan sehari-hari.

Di antaranya Allah berfirman yang artinya, Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Baqarah 261)

Dan Nabi saw bersabda, Orang yang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka. Orang jahil yang dermawan lebih disukai Allah daripada ahli ibadah yang kikir” (HR. Tirmidzi)

Semoga kita dianugrahi hati yang peduli sesama insani, merefleksi ringan tuk berbagi. Aamiin ya Mujib al-Sailin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama