Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 18 Syawal 1443
Membaca Seruan
Saudaraku, di antara kebutuhan asasi setiap manusia adalah eksis, diapresiasi dan dihargai. Apresiasi yang lazim mewujud pada ragam praktik baik yang sesuai dengan kearifan yang terjaga. Termasuk di antaranya dalam wujud penyematan gelar-gelar atau kuniah atau panggilan sebagai penghormatan dari seseorang atas lainnya.
Panggilan atau gelar seperti ayah tercinta, abah, walid, bapakku, aby, abu, rama(k), atau ibu, amma, simbok, ummy, mamak, orangtuaku misalnya, adalah wujud apresiasi atau penghormatan yang disampaikan oleh seseorang (anak) kepada orang yang telah berjasa atas eksistensinya di bumi ini atau juga atas capaiannya di dunia ini. Begitu juga gelar-gelar non formal lainnya.
Panggilan atau gelar sebagai apresiasi juga ada yang bersifat formal seperti gelar akademik, gelar kepangkatan atau gelar jabatan atau lainnya. Gelar akademik seperti sarjana (S.Pd, S.Ag, SH, Ir, SKH, S. Sos, Dst), magister (M.Pd, M.Ag, MA, MH, M.Hum, M.Eng, Dst) dan doktor, gelar jabatan kepangkatan sejak dari Asisten ahli hingga profesor; dari kopral hingga jenderal.
Adapun gelar jabatan mewujud dalam praktik seperti khalifah, raja, sultan, presiden, perdana menteri, menteri, gubernur, bupati, camat, geuchik/kepala desa/lurah, sekdes/carik, ulu-ulu, bayan, naib, rektor, ketua, wakil rektor, wakil ketua, direktur, dekan, wakil dekan, kaprodi, sekprodi, kabiro, kabag, kasubag, kasi dst)
Semua panggilan dan gelar tersebut merupakan amanah atas capaian, keadaan dan atau pemberian yang relevan dan dapat digunakan juga dipertanggungjawabkan sesuai peruntukannya. Gelar-gelar ini di antaranya kemudian melekat atau dilekatkan pada namanya sehingga menjadi di antara identitas dan panggilannya.
Dalam Islam kita diwanti-wanti untuk tidak menghina dengan memanggil atau menyematkan gelar-gelar yang buruk atau menyematkan gelar baik tapi untuk maksud memperolok-oloknya.
Allah berfirman yang artinya Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Qs. Al-Hujurat 11)
Mengapa kita dilarang menghina dengan memanggil atau menyematkan gelar-gelar yang buruk atau gelar-gelar dengan maksud memperolok-oloknya sesama kita? Ya, tentu, agar tidak ada hati yang tersakiti, tidak ada orang yang tersinggung, tidak ada rasa yang terluka, tidak ada perasaan yang kecewa, tidak ada interaksi yang saling mengeksploitasi, tidak ada kerja sama yang pura-pura, dan tidak ada hubungan yang renggang. Tapi atas segalanya ini, dalam Islam panggilan yang baik dan ikhlas itu juga sebagai doa. Ya permohonan hamba ke atas Rabbuna.
Betapa Islam menjaga perasaan dan betapa Islam menghendaki persaudaraan. Bahwa orang-orang mukmin adalah bersaudara. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum, yakni kelompok pria, mengolok-olok kaum, yakni kelompok pria yang lain karena boleh jadi mereka yang diperolok-olokkan lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olokkan perempuan lain karena boleh jadi perempuan yang diperolok-olokkan lebih baik dari perempuan yang mengolok-olok. Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dengan ucapan, perbuatan atau isyarat, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang dinilai buruk buruk oleh orang yang kamu panggil itu sehingga menyakiti hatinya. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk fasik setelah iman. Yakni seburuh-buruk panggilan kepada orang-orang mukmin adalah bila mereka disebut orang-orang fasik sesudah mereka dahulu disebut sebagai golongan yang yang beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, setelah melakukan kefasikan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim kepada diri sendiri dan karena perbuatannya itu maka Allah menimpakan hukuman atasnya.
Begitulah betapa sensitifnya panggilan, kuniah dan gelar yang disematkan apalagi diucapkan. Coba, kita membaca al-Quran dan mengambil ibrah dari padanya. Semua panggilan atau gelar yang digunakan dalam beragam kesempatan adalah sesuai dengan peruntukannya. Maka inilah Al-Qur'an yang di antaranya juga mensifati dirinya sebagai Al-Munâdy (Yang Menyeru).
Allah berfirman yang artinya Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada iman, (yaitu), “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,” maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan matikanlah kami beserta orang-orang yang berbakti. (QS. Ali Imran 193).
Dengan demikian keberadaan al-Qur'an sejatinya memanggil, menyeru, mengajak umat manusia untuk beriman kepada Allah ta'ala agar memperoleh bahagia. Semoga kita termasuk yang meresponinya. Aamiin ya Mujibassailin
Tags:
Muhasabah Harian
MasyaAllah pak doktor syukron ilmunya 👍
BalasHapus