Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 1 Syawal 1443
Membaca Al-Basyir, Berhari Raya
Saudaraku, setelah kita menggenapkan pelaksanaan shiyamu wa qiyamu ramadhan sebulan penuh, Islam menuntun agar kita bertakbir mengagungkan asma Allah.
Dasar normativitasnya, Allah berfirman yang artinya Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur. (Qs. Al-Baqarah 185)
Ya takbir, mengagungkan asma Allah. Allahu akbar, Allahu akbar. Laa ilaha ilallah huwa Allahu akbar. Allahu akbar walillahi al-hamd. Ajaran tentang takhiran ini kemudian bukan saja menjadi tuntutan dan tuntunan, tetapi juga sudah menjadi tatanan bagi masyarakat yang berkeadaban dari zaman ke zaman.
Bersepadu dengan kearifan lokal yang terpelihara, tuntunan takbiran dan beridul fitri di tanah air Indonesia melahirkan ragam budaya, sejak mudik, halal bihalal hingga syukuran bakdo kupat, lebaran dengan menyefiakan makan lontong atsu ketupat.
Ya, takbir mengagungkan asma Allah, karena dengan kebesaranNya, Allah memberi kabar gembira dengan datangnya hari raya Idul Fitri. Dengan idul fitri, kita kembali berbuka puasa setelah selama sebulan berhasil mengendalikannya. Kita mensyukuri Idul Fitri sebagai hari makan minum, meski tetap tidak diizinkan berlaku israf, boros dan berlebih-lebihan. Oleh karenanya di hari idul fitri seperti sekarang ini, kita justru haram mempuasainya. Dengan demikian makan minum itu sejatinya bagian dari fitrah yang amat esensial.
Kita mensyukuri Idul Fitri sebagai hari raya kemenangan atas musuh-musuh kita, terutama hawa nafsu yang menyelinap di hati. Karenanya dalam keseharian di kehidupan ini senantiasa berperilaku sesuai hati nurani, tercerahkan, mencerahkan dalam rangka menggapai ridha Ilahi. Inilah mengapa kita merayakan hari kemenangan ini. Sekali lagi kecenderungan mengikuti hati nurani sejatinya termasuk bagian penting dari fitrah manusia.
Kita mensyukuri Idul Fitri sebagai hari dimana kita kembali fitri, kembali suci. Ya, seiring dengan diampuniNya dosa vertikal melalui ibadah ramadhan, maka melalui intsrumen Idul Fitri ini kita juga saling memohon maaf lahir dan batin agar dosa horisontal di antara sesama dapat dilebur di hari lebaran ini. Sehingga semua meraih kemenangan dan merasakan kebahagiaan. Kondisi tak berdosa itu merupakan fitrah, sehingga setelah dosa diampuni maka kita pun kembali menjadi fitrah lagi. Fitrah ketakberdosaan inilah yang kita syukuri.
Bukankan semua itu merupakan kabar gembira yang disediakan Allah atas hamba-hambaNya? Untuk itu kita senantiasa mensyukurinya,di antaranya dengan mendawamkan membaca al-Qur'an al-Basyir, al-Qur'an pembawa berita gembira.
Dalam hal ini Allah berfirman yang artinya (Al-Qur'an ini) diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Allah berfirman yang artinya Haamiim, Kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan, bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (darinya) serta tidak mendengarkan.
QS. Al Fushilat 1-4).
Ya, al-Qur'an sebagai al-Basyir pemberi kabar gembira bagi hamba-hambaNya karena isi kandungannya membawa berita gembira, membahagiakan orang-orang yang merengkuhnya. Dengan demikian mensyukuri turunnnya al-Qur’an sama dengan mensyukuri turunnya pemberi kabar gembira. Aamiin ya Mujibassailin
Tags:
Muhasabah Harian