Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 30 Syawal 1443
Membaca agar Lurus Jalan Hidupnya
Saudaraku, dengan kemahamurahNya, Allah melalui bulan Syawal benar-benar menyediakan ragam pengalaman religiusitas bagi hamba-hambaNya.
Di samping mengembalikan fitrah yakni fitrah berbuka setelah sebulan berpuasa, fitrah ketakberdosaan dan fitrah keagamaan, juga menyediakan fitrah kebaikan lainnya. Di antaranya kecenderungan mempertahankan ghirah dan gairah untuk membaca al-Qur'an. Dengan mengistikamahi pembacaan kreatif atasnya, kita memperoleh keberkahan yang lebih dari yang kita kira.
Al-Qur'an dengan gamblang menyediakan kabar gembira, seperti sesaat setelah menyempurnakan bilangan Ramadhan, kitapun larut dalam rasa syukur dengan bersuka ria seraya mengagungkan asma Allah di hari raya Idul fitri sebagaimana dingatkan dalam muhasabah ke-1 bulan Syawal ini. Dalam praktik soaiokuktural yang terpelihara dengan syawalan di antaranya dapat berbagi kemaafan, merekatkan menguatkan tali silaturahim sebagaimana diingatkan Al-Qur'an yang juga dikenal Al-'Urwah al-Wusqa (muhasabah ke-2), di samping tentu menebar kasih sayang (Al-Rahmah, muhasabah ke-3).
Dengan berbagi kemaafan antar sesama, maka fitrah ketakberdosaan baik secara vertikal (sidi habluminallah) maupun horisontal (habluminannas) mendapat pengampunan dari Allah, sehingga menyempurnakan fitrah kesucian setiap diri hambaNya. Hal ini terinspirasi dari pembacaan atas al-Qur'an yang juga dikenal sebagai Al-Mutahharah, suci disucikan mengantarkan pembacanya merengkuh kesucian (muhasabah ke-4), menjadikan Al-'Aliy, pembacanya meraih maqam yang tinggi (muhasabah ke-5).
Rasa syukur di hari idul fitri itu ajaran kebenaran. Demikian juga turunannya yang mewujud dalam praktik silaturahim, berbagi rezeki dan berbagi kemaafan. Hal ini termasuk di antara yang ditekankan dalam Al-Qur'an Al-Haq. Inilah kebenaran dari Allah Rabbuna (muhasabah ke-6), dan sebagai Al-Bashsir, juga berisi bukti-bukti yang layak diimani dan dipertahankan (muhasabah ke-7).
Di atas segalanya, musti harus juga diingat bahwa mulai bulan syawal menjadi rentan terjadinya arus balik spiritualitas. Oleh karena kita diwanti-wanti oleh Allah jangan seperti nenek-nenek yang mencerabuti benang dari rajutan kain yang telah ditenun pada bulan Ramadhan sebelumnya (16;92). Inilah di antaranya pentingnya nembaca al-Qur'an, karena ia juga sebagai al-Dzikr atau alaram kehidupan, peringatan bagi hamba-hambaNya (muhasabah ke-8). Apalagi hari-hari Ramadhan bagaikan lembaran-lembaran yang sudah kita ditulisi dengan tinta emas ketaatan ketakwaan kepadaNya. Oleh karenanya sebagai ibrah, tentu membaca al-Qur'an yang juga dikenal al-Shuhuf atau lembaran-lembaran suci (muhasabah ke-9) harus terus dikukuhkan. Dan ketika lembaran-lembaran ini terhimpun menjadi buku maka semua isinya sarat makna (Al-Kitab, muhasabah ke-10).
Dan bacaan apapun yang sarat makna akan terus dibaca berulang kali oleh orang-orang yang mencintainya. Apalagi al-Qur'an, sebagai al-Matsany (muhasabah ke-11) merupakan bacaan yang ayatnya dan proses pembacaannya sering diulang oleh hamba-hambaNya. Ya diulang berkali-kali. Dan uniknya antara pembacaan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya - meski pada surat atau ayat yang sama - memiliki kesan dan pesan yang berbeda-beda. Apalagi pembacaan itu dilakukan oleh orang lain yang tentunya memiliki suasana batin, kemampuan memahami dan merasakannya berbeda-beda, juga situasi kondisi eksternal yang turut mempengaruhi. Tetapi justru inilah di antara hikmahnya, mengapa ilmu Allah itu tak akan pernah habis ditulis, dibahas dan didiskusikan.
Mengapa mesti diulang berkali-kali? Di antaranya karena al-Qur'an jelas-jelas sebagai pedoman hidup orang-orang beriman, wasilah agar ditinggikan (Al-Marfu'ah, muhasabah ke-12), agar cerdas berilmu (Al-'ilm, muhasabah ke-13), dan terbimbing pada jalan lurus menyelamatkan (Al-Qayyim, muhasabah ke-14).
Begitulah kesempurnaan penyampaian Al-Qur'an yang Alkah tetap atasnya, sebagai Al-Balagh (muhasabah ke-15), dimulai dari lafaldnya, perkataan demi perkataan (Al-Qaul, muhasabah ke-16), lembaran demi lembaran, hingga seluruh isi Al-Qur'an. Ini juga membuktikan bahwa al-Qur'an adalah wahyu Allah (muhasabah ke-17). Di dalamnya sarat dengan seruan ajakan untuk mengerjakan kebajikan dan meninggalkan kejahatan (Al-Munadiy, muhasabah ke-18), titah (Al-Kalam, muhasabah ke-19) yang membawa pada kebahagiaan. Tetapi juga terdapat Al-Wa'id atau ancaman (muhasabah ke-20) bagi orang-orang yang mendustakannya. Sejarah orang-orang yang hidup di masa silam yang dikisahkan dalam al-Qur'an menjadi ibrah yang nyata. (Al-Qashah, muhasabsh ke-21).
Sekali kagi diperlukan pembacaan yang kreatif, istikamah dan berulang-ulang (al-Matsani, muhasabah ke-22). Beginilah sikap yang benar (Al-Shidq, muhasabah ke-23), sehinggga berangsur-angsur (muhasabah ke-24) melahirkan pemahaman yang menyempurna. Hal-ini penting, di antaranya karena pembacaan atas Al-Qur'an akan menjadi saksi ketaatan hamba ke atas Rabbnya (Al-Muhaimin, muhasabah ke-25), sikap yang adil (Al-'Adl, muhasabah ke-26).
Di samping itu, al-Qur'an juga dikatakan sebagai al-Mutasyabih, yang serupa. Karena di dalamnya juga terdapat kabar terkait kisah-kisah umat terdahulu yang serupa dan diulang lagi di berbagai tempat. Sehingga terjadi keserupaan proses pengulangan akan cerita dan nasihat dari kisah-kisah terdahulu, meskioun tetap nemikiki nuansa dan informasi yang berbeda (muhasabah ke-27).
Dan juga disebut sebagai al-Fashl (muhasabah ke-28), karena di dalamnya juga berisi pedoman yang dengan jelas memilah memisah antara jalan yang lurus dan jalan yang salah; antara ilham taqwa dan ilham fujur; antara yang haq dan yang bathil; antara yang halal dan yang haram; antara yang berilmu dan yang jahil; antara yang berkualitas dan yang sampah; antara air dan buih; antara yang berakhlaq mahmudah dan yang berakhlak mazmumah.
Irang-orang beriman tentu memenangkan ketaatan dan kepatuhan pada Allah. Termasuk terhadap aturan yang berlaku di manapun berada. Karena sajatinya ketaatan ini bagian dari akhlaq al-karimah sekaligus juga sebagai penanda pada ketaatan dan kepatuhan aturan, peraturan (al-hukmu, al-Qur'an) yang diturunkan Allah (muhasabah ke-29).
Al-Qur'an disebut sebagai al-Hukmu berarti sebagai hukum atau peraturan. Seperti diketahui sumber hukum Islam memang harus didasarkan pada Al- Qur'an. Inilah jalan yang lurus (Al-al-Shirath al-Mustaqim” (muhasabah ke-30) hari ini.
Disebut al-Shirath al-Mustaqim dikarenakan Al-Qur’an merupakan panduan yang menuntun kita menuju jalan yang lurus yaitu surga. Sebagaimana dalam Q.S. al-An’am [6] ayat 153:
وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ
“Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah!” Maha benar Allah dengan segala firmanNya. Da semoga kita terus istikamah merengkuhnya. Aamiin ya Mujjb al-Sailin
Tags:
Muhasabah Harian