Fitrah Ilahiyah

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 1 Zulkaidah 1443

Fitrah Ilahiyah
Saudaraku, setelah hampir selama lima puluh hari terakhir kita mengulang kaji, melakukan pembacaan kreatif atas al-Qur'an dari segi penamaan atau sifat yang melekat padanya, maka di bulan Zulkaidah ini kita akan berselancar mengarungi bahkan menyelami keluasan satu ajaran yang sangat penting dalam Islam yakni tentang fitrah. 

Apalagi, fitrah sudah dibawa sejak mula saat kita lahir ke dunia ini. Seandainyapun tidak aktual dalam kehidupan, melalui ibadah Ramadhan tempo hari - atau setelah taubat nasuha, menunaikan haji - sudah mengembalikan semua kita menjadi fitrah seperti semula lagi.

Adapun fitrah yang kita ulangkaji dalam muhasabah hari ini adalah fitrah ilahiyah. Fitrah ilahiyah ini untuk menyakinkan diri bahwa setiap orang dilahirkan ke dunia ini sudah nembawa naluri bertuhan. Dan dengan sangat gamblang naluri bertuhan yang dibawa oleh semua manusia sejatinya adalah naluri bertuhankan Allah. Bukan tuhan kayu, bukan tuhan gunung/batu, bukan tuhan emas permata, bukan tuhan bintang-bintang di langit, bukan tuhan rembulan, bukan tuhan matahari, bukan tuhan gelap terang, bukan tuhan air, bukan tuhan api, bukan tuhan pepohonan, bukan tuhan keris atau jimat (fetish), bukan tuhan susuk, bukan tuhan tahta, bukan tuhan keluarga, bukan tuhan manusia, bukan tuhan hawa nafsu, bukan tuhan thaghut atau selainNya.

Adapun dasar teologis normatifnya Allah berfirman

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (serayal berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” (Qs. Al-A'raf 172)

Karena termasuk di antara lima yang kekal di samping tentu Allah yang Maha kekal, materi, ruang dan waktu, maka ruh manusia itu sudah ada sejak mula sekali. Dan di alam dzuriyat semua ruh manusia sudah bersaksi, berikrar (baca bersyahadat) bahwa tuhannya adalah Allah ta'ala.

Dengan sejarah agama itu bermula monotheisme, bertuhankan Allah Yang Maha Esa. Dan nenek moyang manusia yang pertama Adam Hawa juga bertuhankan Allah ta'ala. Tetapi kemudian dalam rentang yang sangat panjang sejarah agama menjadi dinamis, dan bercabang-cabang, sehingga manusia menemukan tuhannya yang bebeda-beda. Ada yang madih monotheisme, bertuhankan Allah ta'ala, terapi juga ada yang bertuhankan Satu tapi selainNya, bahkan ada yang polythisme percaya pada banyak tuhan. 

Dalam iman Islam, orang yang baik adalah orang-orang yang jujur dan istikamah; di alam dzuriat sudah berikrar bertuhankan Allah, maka saat lahir dan hidup di dunia mestinya juga hanya bertuhankan Allah dan istikamah hingga kembali lagi ke haribaanNya. Dengan kata lain, sejatinya hidup di dunia ini sebagai proses aktualisasi fitrah. Fitrah bertuhankan Allah harus benar-benar mewujud dalam keseharian hidup di dunia ini.

Lalu, mengapa fitrah bertuhankan Allah bisa tidak aktual? Terbukti di dunia ini masih saja ada yang bertuhankan selain Allah. Ada di antararanya yang masih bertuhankan kayu, atau bertuhankan batu, atau tuhan emas permata, tuhan libra dll, tuhan bintang di langit,  tuhan rembulan, tuhan matahari, tuhan gelap terang, tuhan air, tuhan api, tuhan pepohonan, tuhan keris atau jimat, tuhan susuk, tuhan tahta, tuhan keluarga, tuhan manusia, tuhan hawa nafsu, atau tuhan thaghut.

Semua itu, di samping karena tidak memperoleh hidayah Allah, juga secara manusiawi disebabkan oleh faktor eksternal yang melingkupi kehidupannya. Faktor eksternal ini bisa berupa pengaruh dari kedua orangtua atau keluarga yang mengasuhnya, pengaruh dari teman pergaulannya, pendidikan yang diikutinya, sosio kultural dimana berada.

Oleh karenanya, kita layak bersyukur memperoleh hidayah iman dan Islam dari Allah yang bergayung sambut dengan faktor ekternal dimana kita tinggal di keluarga dan lingkungan yang kondusif untuk aktualnya fitrah ilahiyah, bertuhankan Allah. Semoga istikamah hingga Allah berfirman 

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ

Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Qs. Al-Fajr 27-30) Maha benar Allah dengan segala firmanNya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama