Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 9 Ramadhan 1443
Membaca Rukhsah Puasa
Saudaraku, sebagai fardhu Ramadhan, ibadah puasa tentu tidak hanya ditunaikan oleh orang-orang beriman, tetapi lebih dari itu bahkan berusaha memperindah bangunannya. Tetapi karena orang-orang beriman itu juga hidup berinteraksi sosial seperti biasanya, maka acapkali mengemban amanah kehidupan seperti harus melakukan perjalanan jauh ke suatu tempat untuk suatu urusan maslahat bagi diri, keluarga maupun institusi tempat bekerja.
Di samping itu, sebagai manusia biasa juga tidak bisa melepaskan diri sepenuhnya dari persoalan kesehatan. Di suatu waktu bisa saja menderita sakit tertentu. Apalagi bagi kaum perempuan yang sudah berkeluarga lazimnya ada masa-masa berat terutama saat mengandung, melahirkan dan nifas. Semua ini menjadi kepedulian syariat.
Nah, betapa indahnya Islam! dimana syariatnya menjangkau bagi semua umatnya hatta dalam kondisi apapun juga. Dikarenakan mengetahui hal ikhwal hamba-hambaNya, maka dengan kemahamurahanNya, Allah juga menyediakan fasilitas rukhsah atau dispensasi atau keringanan kepada hamba-hambaNya dalam pelaksanaan ibadah puasa.
Dan di berbagai kesempatan Allah melalui Al-Qur'an juga menegaskan, bahwa Allah tidak akan membebani hamba-hamba-Nya di luar batas kemampuannya (QS al-Baqarah 286). Maka apapun jenis titah Allah baik berupa kewajiban yang mesti dijalankan atau larangan yang mesti dijauhi, tetap dalam koridor kesanggupan hamba-hambaNya untuk menaatinya. Bahkan, ada kewajiban yang bisa gugur ketika seorang hamba benar-benar tidak sanggup melaksanakannya; dan ada larangan yang diizinkan dilakukan ketika syariat membolehkan. Inilah rukhsah atau keringanan yang Allah sediakan untuk hamba-hambaNya..
Dalam konteks rukhsah berpuasa Allah berfirman yang artinya (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(Qs. Al-Baqarah 184)
Berdasarkan normativitas yang terjemahnya tertera di atas, tersurat sangat gamblang bahwa rukhsah dalam berpuasa "dapat" diambil saat sakit, musafir dan tak sanggup melakukannya. Mengapa rukhsah diberikan? Iya, ini bukti kasih Ilahi. Apalagi saat sakit, saat dslam perjalanan (musafir) dan saat berusia renta mengalami masyaqqah atau kesulitan bila berpuasa.
Nah, hal ikhwal tentang masyaqqah atau kesulitan ini tentu sangat relatif dan subyektifvitas tinggi sekali. Saat sakit misalnya, yang mengetahui hal ikhwal masyaqqah tidaknya ya hanya yang bersangkutan. Jadi ya lebih etis dirasa-rasa sendiri. Karena bisa jadi dengan berpuasa justru menjadi obat penyembuh atas sakit yang dialami. Untuk ini, betapa banyak pengalaman praktis, bahkan malah ada penyakit yang terapinya "berpuasa".
Begitu juga saat dalam perjalanan saat musafir. Zaman sekarang jarak tempuh dan durasi perjalanannya bisa jadi tidak menimbulkan masyaqqah atau kesulitan apa-apa bagi sebagian orang. Misalnya menempuh perjalanan, katakanlah umrah ke tanah suci di bulan Ramadhan ini. Perjalanan ke tanah suci ditempuh dengan pesawat class eksekutif yang sekitar 8 jam atau kapal pesiar mewah beberapa hari dari tanah air ke tanah suci. Tentu ada kaum muslimin yang sangat nyaman di perjalanan, bahkan menikmatinya. Begitu juga penerbangan dari Aceh ke Jakarta atau ke Solo yang sekitar 3 jam. Seandainya tidak memanfaatkan fasilitas rukhsah mungkin justru lebih baik bila tidak ada masyaqqah apa-apa. Apalagi bagi orang sakit atau musafir ketika mengambil rukhsah, maka harus mengqadha atau menggantinya di hari lain di luar Ramadhan, yang susananya pasti tidak sekondusif bulan Ramadhan. Maka di ujung ayat dinyatakan Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Begitu juga halnya rukhsah bagi yang tak kuasa lagi mengerjakan puasa seperti karena sudah renta. Nah ini kan sangat relatif dan subyektif. Oleh karena perkara rukhsah ini sangat subyektif, maka realisasinya diserahkan kepada subyektivitas masing-masing orang. Tentu, tidak bijak bila digeneralisasi.
Hal penting yang layak diingat dan disadari bahwa meskipun hukum rukhsah itu al-ibahah (dibolehkan) secara mutlak, namun ia sekadar kebutuhan atau karena sebatas mengalami masyaqqah saja. Ketika masyaqqah atau kesulitannya hilang, maka hukum fardhu puasa kembali seperti sedia kala. Semoga kita tetap memiliki ghirah dan gairah berpuasa dan memperindah bangunannya. Aamiin
Tags:
Muhasabah Harian