Membaca Kaifiyat Puasa

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 8 Ramadhan 1443

Membaca Kaifiyat Puasa
Saudaraku, kaifiyat atau tata cara atau  SOP,  standar operasional prosedur berpuasa sangat mudah. Setelah malam harinya berniat berpuasa di hati (tentu boleh diikrarkan apalagi bisa untuk saling ingat mengingatkan juga untuk pengajaran) dan sebaiknya melakukan santap sahur secara sederhana di akhir malam, lalu memulai  menahan diri untuk tidak makan minum dan tidak melakukan hal-hal yang membatalkannya dari fajar sidiq sampai terbenam matahari, saatnya berbuka puasa. Ini saja, enak, bukan?

Bila santap sahur lebih baik diakhirkan sampai jelang waktu subuh, maka berbuka puasa (ifthar) lebih baik disegerakan bila sudah saatnya tiba. Ya kira-kira bagi kita yang bermukim di Indonesia durasi berpuasanya dalam sehari sekitar 14 jam saja, sembari memberi kesempatan organ tubuh agar dapat istirahat dari mencerna makanan sehingga bisa menetralisir keadaannya.

Nah, setelah membaca kaifiyat berpuasa, rasanya ada yang membedakan dengan tuntutan ibadah mahdhah selainnya, shalat, zakat, haji, qurban, misalnya. Bila pada tuntunan shalat, haji, zakat dan qurban kita disuruh untuk melakukan sesuatu, maka pada pelaksanaan puasa kita justru dilarang melakukan sesuatu, yaitu dilarang makan, dilarang minum dan dilarang melakukan hal-hal lain yang membatalkannya.

Ya, doktrin puasa itu berisi tuntutan untuk tidak makan, tidak minum meski makanan dan minumannya halal, tidak berhubungan intim bagi suami istri dan tidak melakukan hal-hal yang membatalkan (pahala)nya.. Agar pahala puasanya melimpah dan tidak berkurang atau hilang, maka kita juga tidak ghibah, tidak ngerumpi, tidak sombong, tidak riya, tidak sum'ah, tidak dengki, tidak iri, tidak kikir, tidak loba, tidak menfitnah, tidak sikut kiri dan tidak sikat kakan, tidak berbuat lagha yang lalai meninabobokkan, tidak banyak bicara apalagi ngelantur, tidak buat status ujaran kebencian, tidak baper, tidak over ekspresif saat gembira maupun saat sedih. Sejurusnya dengan dengan ini, kita juga diperintah melakukan segala yang dapat memperindah bangunan puasa, seperti melakukan tilawah Qur'an, berdzikir, berdoa, berbagi ilmu dan berbagi rezeki dengan sesama, bekerja, mencari nafkah, belajar, membaca, mengemban ananah dan melakukan kebaikan lainnya.

Dengan demikian dalam iman Islam, larangan maupun perintah yang datangnya dari Allah, pasti untuk kebaikan manusia, terutama bagi yang menaatinya. Inilah inti hukum syariat. Ya perintah dan larangan. Perintah (al-amru) terbagi menjadi dua yaitu perintah keras berkonsekuensi wajib (amru ijab) seperti puasa Ramadhan, shalat lima kali sehari semalam, zakat juga haji dan perintah tidak keras berkonsekuensi sunat (amru nadb) seperti shalat terawih, sedekah, infak, umrah. Tentu, mengindahkan perintah dengan melakukannya akan memperoleh ganjaran kebaikan.

Demikian juga larangan. Ada larangan keras (haram) seperti melakukan M5 (maling, main, minum, madat, madon), membunuh, menfitnah dan ada larangan tidak keras (makruh) seperti tidur setelah shalat shubuh, makan petai atau jengkol, berbicara ketika berwudhu, makan minum sambil berdiri. Dan tentu, mengindahkan larangan dengan menjauhinya akan memperoleh ganjaran pahala dan terhindar dari siksa. Sebaliknya, menyepelekan perintah dan melanggar larangan hanya akan berakibat buruk bagi diri sendiri. Oleh karenanya pendidikan, dakwah dan aktivitas amar makruf nahi munkar untuk saling mengingatkan mesti dilembagakan dalam kehidupan praktis.

Ramadhan seperti sekarang ini di antaranya merupakan bulan pendidikan dan bulan dakwah. Betapa tidak kini pendidikan dan dakwah berlangsung secara massif, di hampir seluruh komunitas muslim di manapun berada, di hanpir semua masjid dan mushalla, di hampir semua waktu melalui berbagai sarana seperti kutbah, ceramah, tausiyah langsung atau melalui berbagai massmedia. Semoga semua ini mengantarkan kita berproses menjadi lebih taat dalam mengerjakan perintah Allah dan meninggalkan laranganNya. Aamiin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama