Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 14 Ramadhan 1443
Membaca Masa Depan
Saudaraku, masa depan itu sejatinya misteri. Secara internalpun terbersit pertanyaan apakah masa depan masih dalam jangkauan umur kita, bagaimana hal ikhwal diri kita, juga keluarga kita dan orang-orang di sekitar kita bahkan alam semesta ini dimana kita berada? Untungnya kita dituntun oleh Allah dan RasulNya melalui Dinul Islam untuk terus optimis, berikhtiar dan berdoa menggantungkan harapan akan rasa bahagia.
Oleh karenanya, meski sebagai kelanjutan masa kini, masa depan yang cenderung masih menjadi dunia cita-cita harus terus dikreasi sejak kini agar lebih bahagia membahagiakan nantinya. Nah bagaimana caranya?
Kini, dengan ibadah yang kita lakukan khususnya berpuasa di bulan suci (shiyamu ramadhan) dan menghidupkan malam harinya (qiyamu ramadhan) dengan serangkaian ibadah pendukungnya merupakan langkah strategis untuk mencipta masa depan yang masih cita-cita menjadi nyata. Mengapa? Ya, karena dengan mengistikamahi shiyamu ramadhan wa qiyamu ramadhan orang-orang beriman akan menuai bahagia.
Kita sadar bahwa masa depan itu memiliki dua dimensi yakni masa-masa datang yang akan kita alami di dunia ini dan masa datang sejati yang akan kita alami saat di akhirat nanti. Nah, bukankah rasa gembira (baca rasa puas dan bahagia) akan diperoleh oleh orang-orang beriman yang berpuasa sejak di dunia ini dan hingga akhirat nanti?
Dalam hadis qudsi Allah Ta’ala berfirman,
للصائم فرحتان، فرحة عند فطره، وفرحة عند لقاء ربه
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka, dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Bukankah rasa puas, gembira, bahagia sudah kita rasakan di setiap sore hari ketika berbuka puasa; sore hari nanti akan kita ulangi merasakan bahagia lagi, esok sore kita akan berbahagia lagi. Demikian seterusnya, sebagai orang-orang beriman, kita akan terus berpuasa dan merasakan kebahagiaan demi kebahagiaan di setiap sore hari hingga tibanya hari kemenangan di raya raya idul fitri. Dan semestinya kebahagiaan ini harus terus dinikmati saat hidup di dunia ini.
So pasti, kebahagiaan di dunia yang dirasakan oleh orang-orang yang berpuasa akan disempurnakan di akhirat kelak saat bertemu atau ditemui Allahu Rabbiy. Allah berfirman yang artinya Wahai manusia, sesungguhnya engkau bekerja keras menuju Tuhanmu, maka engkau akan menemuiNya.” (QS. Al Insyiqaq 6)
Bekerja keras menuju Allah melalui ibadah puasa (juga dengan serangkaian ibadah lainnya seperti shalat, zakat, haji, berdzikir, berbagi, tilawah dst) merupakan maqam atau maqamat yang mesti dilalui dikukuhkan dalam kehidupan sehari-hari saat di dunia ini, sampai Allah menyambut dan atau menemui hamba-hambaNya dengan menganugrahi hal atau ahwal (kondisi psikologis) berupa kepuasan, kegembiraan, kesenangan dan rasa bahagia.
Nah saat di akhirat kelak, klimak kebahagian apa lagi yang bisa rasakan melebihi daripada saat perjumpaan agung dengan Allah di surgaNya kelak. Saat di dunia saja kita akan merasa sangat berbahagia dan bangga bila bertemu apalagi ditemui oleh orang-orang penting seperti para petinggi negeri atau para ulama atau para ilmuwan atau bertemu dengan sang kekasih.
Tentu, pada saatnya pertemuan itu akan menjadi momen-momen penting yang akan kita abadikan, kita ceritakan kepada anak cucu dan menjadi kenangan sepanjang kehidupan diri juga keluarga. Ilustrasi ini baru di dunia ini, apatah lagi bisa bertemu dengan Allah zat yang maha mencipta segala yang ada ini; Allah zat dimana tempat cinta di hati ini berlabuh. Apalagi dalam pertemuan agung itu kita dianugrahi kemampuan untuk memandangi wajah Ilahi.
Sekali lagi, cita-cita akan rasa bahagia dan perjumpaan dengan Allah di surgaNya agar menjadi nyata, maka kini kita berikhtiar untuk memastikan diri bahwa kita layak dan pantas memperoleh kebahagiaan itu.
Mengapa menunaikan ibadah puasa sebegitu dahsyat mampu melahirkan rasa bahagia? Bahkan bahagia di dunia dan akhirat kelak? Ya, tentu, karena berpuasa itu akumulasi ketaatan pada Ilahi. Coba bayangkan orang-orang yang berpuasa itu mampu menahan diri dari segala dilarang oleh syariat, mampu mengendalikan diri perkara yang mubah, dan mampu menegah hal-hal yang berpotensi dapat memalingkan dirinya pada Allah ta'ala. Dan orang-orang yang berpuasa hanya mengerjakan hal-hal yang bermanfaat saja. Ketaatan inilah yang mengantarkan pada rasa bahagia.
Di atas segalanya berpuasa itu merupakan upaya memastikan diri mensucikan hati agar menjadi lebih bertakwa dan tentu takwa itu bslasannya surga selagi di dunia maupun di akhirat sana. Aamiin ya Mujibassailin
Tags:
Muhasabah Harian