Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 16 Ramadhan 1443
Membaca Ibrah Uzlah
Saudaraku, dalam lorong waktu, sejak awal Ramadhan, Muhammad Al-Amin mulai intensif menyendiri melakukan uzlah di Gua Hira. Meski masih di seputaran Makkah pusat peribadatan internasional para penganut agama, terutama kaum paganis yang sudah merasuk mendarah daging, Gua Hira relatif sepi dari hiruk pikuk masyarakat jahiliyah Arab. Mungkin tidak akan ditulis dalam sejarah, bila kemudian di puncak kequdusan hatinya tidak didatangi Malaikat Jibril utusan Allah untuk menyampaikan wahyu.
Agaknya, sejarah serupa juga terjadi dalam historitas kenabian sebelumnya. Setidaknya Nabi Musa as demikian juga. Musa pergi ke bukit Sinai gunung seputaran di Mesir dan menetap di sana selama empat puluh malam untuk menjemput wahyu. Bahkan Nabi Musapun dapat langsung berbicara kepada Allah tanpa perantara.
Uzlah seorang diri di tempat sepi setidaknya telah turut mengkodisikan diri, pikiran dan hati menjadi jernih sehingga berpeluang besar memperoleh "ilham" pencerahan dari Allah. Setidaknya begitulah kondisioning diturunkannya wahyu kepada Nabi Musa as dan kepada Nabi Muhammad saw.
Ya, uzlah atau khalwat atau meditasi merujuk pada ikhtiar dengan menjauhkan diri dari hiruk pikuk "kehidupan duniawiyah yang cenderung glamor dan menggelincirkan" dengan cara mengasingkan diri mencari tempat dan suasana yang kondusif untuk merenung, berfikir dan berzikir untuk meraih kearifan atau kemuliaan hidup. Dari batasan uzlah ini tentu juga mengakomodir secara substantif, sebagai upaya mengasingkan diri atau menjauhkan diri dari segala perilaku maksiat agar memperoleh kebahagiaan hidup.
Pada saatnya, ketika hati Muhammad al-Amin telah diliputi oleh kekhusyukan dan ketawadhukan di haribaan Sang Penciptanya sehingga sampai di maqam kekhudusannya, maka datanglah Jibril ruhul kudus malaikat yang suci menyampaikan wahyu al-Qur'an sebagai rangkaian turunnya kitab suci dari Allah zat Yang Maha Suci.
Sejarah itu kita baca berulangkali, kita renungkan dan kita belajar banyak dari uzlahnya Nabi. Betapa tidak! Perhatikanlah seputar kondisioning menjemput wahyu sesuatu yang amat mulia dan dimuliakan, yang dilakukan oleh Nabi Muhamnad al-Amin dan turunnya al-Qur'an pada malam 17 Ramadhan 12 SH.
Ternyata, kemudian diimani oleh seperlima orang yang pernah hidup di muka bumi ini, bahwa wahyu al-Qur'an itu adalah kalamullah yang suci, berasal dari Allah yang Maha Suci, dibawa dan disampaikan oleh malaikat Jibril yang suci, waktunya pada bulan Suci Ramadhan, tempatnya di Gura Hira yang suci dari kesyirikan jahiliyah, dan diusahakan dengan beruzlah atau berkhalwat dalam rangka mensucikan diri mencari solusi, dan keadaan hati Muhammad al-Amin benar-benar suci.
Intinya kesucian hati, jernihnya pikiran, lurusnya niat yang bersepadu dengan lingkungan eksternal yang kondusif, waktu yang tepat, menjadi di antara ranahnya manusia saat bermunajat, sehingga Allah menjawab permohonan hamba-hambaNya.
Saya rasa ibrah uzlah ini tinggal kita bagaimana mengontekstualisasikan untuk masa kini dan masa datang? Nah di sinilah pentingnya sebagai orang Islam kita membaca uzlahnya Nabi Muhammad saw saat menjemput wahyu. Setidaknya pertama, uzlahnya Nabi Muhammad saw saat menjemput wahyu mengajarkan kepada kita tentang prosesi menjemput kemuliaan, meraih kebahagiaan. Kedua, uzlahnya Nabi Muhammad saw saat menjemput wahyu membukakan pintu hati kita, menjernihkan akal pikiran kita, dan melapangkan langkah kita untuk menapaki kebenaran demi kebenaran sehingga memperoleh kebahagiaan. Ketiga, uzlahnya Nabi Muhammad saw saat menjemput wahyu mengajarkan bahwa nilai-nilai kemuliaan itu suci, tujuan yang dicanangkan itu suci, keberhasilan/kesuksesan itu suci, kebahagiaan itu suci, ide gagasan dan percikan pemikiran cemerlang itu suci, ilham kebajikan itu suci dan seterusnya ... maka semua itu harus dijemput dengan niat ikhlas, hati yang suci dari segala noda dan dosa, usaha serius, di lingkungan yang kondusif, dengan memanfaatkan waktu-waktu terbaik yang tersedia.
Secara praktis, bila tempat yang suci semisal Gua Hira jauh dari jangkauan kita, maka Allah telah menyediakan Ramadhan, waktu-waktu terbaik dalam hari-hari yang kita lalui yang bisa dimanfaatkan untuk uzlah dari kebisingan hidup. Di samping itu, juga pada sepertiga malam terakhir setiap harinya. Pada saatnya akan didapati suasana yang amat kondusif untuk merenung, berpikir, berzikir, bermuhasabah, dalam serangkaian doa-doa shalat malam kita, dalam rangka mendekatkan diri pada Allah Yang Maha Kuasa.
Pada saatnyalah, sesiapapun kita, dengan kondisi apapun keadaan dan hati kita akan mendapat tempat dalam naungan karuniaNya. Segala keprihatinan sosial, jeritan hati, keluh kesah, problema hidup, cita-cita, goresan hati, suasana bahagia di hati, dan semua hajad dapat disampaikan diadukan dan dimintakan solusi kepada Allah ya Wahhab ya Razzaq, Zat Yang Maha Mengaruniai Rezeki, secara langsung, face to "Face", tanpa wasilah atau perantaraan siapapun juga.
Kini di bulan suci ini, penting rasanya untuk tetap menjadi orang-orang yang baik dan berhati suci atau setidaknya terus berproses menjadi orang baik dan mensucikan hati, agar Allah menurunkan rasa puas, rasa gembira dan bahagia. Aamiin
Tags:
Muhasabah Harian