Membaca Al-Ruh

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 28 Ramadhan 1443

Membaca Al-Ruh
Saudaraku, di penghujung hari-hari bulan Ramadhan harusnya umat Islam semakin fokus puasa dan intensif menghidupkannya dengan ibadah. Meskipun urusan mudik ke kampung halaman untuk merayakan kemenangan di hari raya bersama keluarga dan pernak pernik menyiapkan "syukuran lebaran" juga menyita perhatian banyak keluarga, tetapi tetap penting diingatkan agar semua aktivitas dalam bingkai ibadah menggapai ridha Allah. Bila tidak, apalah arti kemenangan sesaat bahkan semu itu?.

Sekali lagi tuntunan menghidupkan Ramadhan - apalagi sudah memasuki babak akhir - adalah keniscayaan untuk meraih kemenangan yang sejati, kemenangan yang abadi. Ya kuncinya menghidupkan Ramadhan; kira-kira bermakna memberi ruh agar Ramadhan hidup, agar Ramadhan tidak mati. Nah menghidupkan Ramadhan, tentu dengan menggalakkan ibadah. Maka sebanyak-banyaknya amal ibadah sebaiknya dikerjakan, seperti tetap berpuasa, shalat, beriktikaf, berdzikir, berdoa, mengeluarkan zakat, sedekah, mencari nafkah, dan menunaikan amanah kehidupan yang ada. 

Di samping itu adalah sangat penting kita mendawamkan tilawah al-Qur'an sekaligus mentadaburinya. Apalagi di antara nama, sifat dan karakteristik al-Qur'an adalah al-Ruh atau jiwa yang menghidupkan.

Landasan normativitasnya adalah firman Allah yang artinya, Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu al-Ruh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Qs. Al-Syura 52)

Secara umum, ruh dipahami sebagai unsur immateri yang ada dalam jasad yang ditiupkan oleh Allah ke dalam diri manusia sebagai penyebab adanya kehidupan. Oleh karena itu, ketika al-Qur’an disebut sebagai al-Ruh, maka al-Qur’an merupakan sumber kehidupan atau bahkan kehidupan itu sendiri. 

Dengan demikian ibrah dan filosofinya adalah (hati) orang-orang Islam agar hidup, harus membaca atau “bersama” dengan al-Qur’an. Tidak membaca atau tidak bersama al-Qur’an bahkan meninggalkannya berarti sebuah ketiadaan hidup atau sejatinya sudah tidak hidup lagi meskipun masih berjalan ke sana ke sini. Inilah gambaran tragis, mati sebelum mati. Na'udzubillahi min dzalika!

Sebagaimana keterbatasan dan kemisterian pengetahuan manusia tentang ruh, begitu juga sejatinya tentang al-Qur’an. Meskipun dipelajari dan dikaji terus menerus, tetap saja tak akan pernah tuntas dijelaskan, tak akan habis ditulis dan tak akan selesai diajarkan, apalagi diamalkan ajarannya. Itulah Al-Qur’an sebagai al-Ruh merupakan kehidupan itu sendiri yang maha luas, di mana manusia, seluruh makhluk dan segala alam ini di dalam jangkauannya.

Sebagai orang Islam sudah mestinya kita mensyukuri diturunkanNya Al-Qur'an, diturunkanNya al-Ruh kepada manusia. Ia menjadi sumber kehidupan. Jadi, agar kita benar-benar hidup, maka tidak ada cara lain kecuali bersama al-Ruh, membersamai al-Qur’an. 

Ya, hidup bersama Al-Qur'an. Semoga Allah menganugrahkan kemampuan kepada kita untuk istiqamah hidup bersama al-Qur’an. Seluruh niat, ucapan dan perbuatan kita bersesuaikan dengan al-Qur’an. Oleh karenanya desah nafasnya adalah zikir, niatnya lurus, ucapannya menjadi tasbih, diamnya menjadi istighfar dan seluruh perbuatannya dalam rangka membesarkan Allah (takbir). Aamiin ya Mujibassailin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama