Sri Suyanta Harsa
Muhasabah Punca Hari Putih, 15, Nisfu Syakban 1443
Keberkahan Gladi Keseimbangan
Saudaraku, dalam durasi tujuh tahun terakhir, melalui forum muhasabah ini Loentuan telah menyampaikan ulasan tentang keseimbangan dalam beragam perspektif. Karena seimbang itu niscaya, agar tak jatuh. Setidaknya harus mengukuhkan keseimbangan pada hal-hal yang sangat signifikan.
Saat hidup di dunia ini kita harus menjaga keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan fisik, akal dan hati agar menjadi pribadi yang sempurna, jauh dari split personality atau berkepribadian pecah.
Keseimbangan juga harus dijaga dalam menjalin hubungan dengan Allah (hablum minallah) dan dengan sesama manusia (hablum minannas). Keseimbangan lainnya dalam hak dan kewajiban, sebagai makhluk bertuhan dan sebagai makhluk sosial; dalam mendidik diri untuk memiliki keshalihan personal maupun sosial, dalam meraih bahagia baik di dunia maupun di akhirat.
Inilah mengapa sering kita mendengar bahwa seimbang itu indah, balance is beautiful. Ya seindah bulan purnama 15 Syakban ini. Meski tidak mudah, kita tetap harus berikhtiar bersusah-payah sehingga hidup bisa serasa lebih berkah.
Oleh karenanya kini izinkan Loentuan mengulangkaji tentang keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal. Karena dua-duanya adalah ranahnya manusia, maka idealitasnya seimbang; tidak berat sebelah, apalagi menafikan salah satunya. Jadi tuntunannya, saat berusaha semaksimal mungkin dalam merealisasikan tujuan selalu menyertakan Allah. Mengapa?
Ya, karena kita ini di antara makhluk yang dicipta oleh Allah, zat yang maha mengetahui dan maha mengatur hal ikhwal kehidupan. Tentu, termasuk diri kita. Dalam iman Islam, kita meyakini bahwa setiap orang memiliki garisan tangan, jalan hidup, ketentuan takdir yang berbeda-beda.
Dalam sebuah riwayat dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Mas'ud ra berkata: "Rasulullah saw bersabda kepada kami dan beliau adalah orang yang selalu benar dan dibenarkan: "Sesungguhnya setiap orang di antara kamu dikumpulkan kejadiannya di dalam rahim ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah (air mani), kemudian menjadi alaqah (segumpal darah) selama waktu itu juga (empat puluh hari), kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama waktu itu juga, lalu diutuslah seorang malaikat kepadanya, lalu Malaikat itu meniupkan ruh padanya dan ia diperintahkan menulis empat kalimat: Menulis rezekinya, ajalnya, amalnya, dan nasib celakanya atau keberuntungannya. Maka demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, sesungguhnya ada di antara kamu yang melakukan amalan penduduk surga dan amalan itu mendekatkannya ke surga sehingga jarak antara dia dan surga kurang satu hasta, namun karena takdir yang telah ditetapkan atas dirinya, lalu dia melakukan amalan penduduk neraka sehingga dia masuk ke dalamnya. Dan sesungguhnya ada seseorang di antara kamu yang melakukan amalan penduduk neraka dan amal itu mendekatkannya ke neraka sehingga jarak antara dia dan neraka hanya kurang satu hasta, namun karena taqdir yang telah ditetapkan atas dirinya, lalu dia melakukan amalan penduduk surga sehingga dia masuk ke dalamnya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Jadi hal ikhwal hidup kita di dunia ini - dan tentu juga di akhirat kelak - tertulis berjalan atas ketentuan Allah, zat yang maha bijak mengatur, zat yang pengetahuanNya maha meliputi.
Bila rezeki (baca ilmu, gelar akademik sampai guru besar, harta, tahta, keluarga, jodoh... dst), ajal, amal, dan nasib (mujur atau sial) kita tertulis berjalan sesuai dengan ketentuan Allah, maka ikhtiar kita juga menjadi bagian dari sunatullahNya.
Benar jodoh kita sudah tertulis rapi akurat dalam ketentuan Allah, maka ikhtiar mencari dan menemukan ranahnya bagi kita manusia. Kalau belum ketemu atau "tidak" menemukannya juga, berarti kemungkinan ikhtiarnya belum maksimal, atau ada sebab musabab lainnya seperti yang sering didengar karena terlalu halus saringannya dalam memilah-memilih. Atau sebaliknya bahkan karena shalat hajatnya dikabulkan sehingga muncul banyak pilihan yang tak tahu memilih yang mana. Nah yang terakhir ini menyisakan ikhtiar shalat istikharah saja agar segera nenemukan jawabannya. Jadi mencari dan menemukan jodoh itu juga bagian dari tuntunan, ketetapan dan sunatullahNya.
Sesuai dengan keimanan bahwa rezeki sudah tertulis dalam ketentuan Allah, di berbagai pertemuan ilmiah keislaman di Pascasarjana saya menyampaikan "kabar gembira" kepada teman-teman mahasiswa program doktoral, bahwa disertasinya sudah ditandatangani oleh para pihak. Bahkan ijazah doktornya juga sudah ditandatangani oleh Rektor.
Begitu juga tesis dan ijazah magisternya bagi para mahasiswa S2, skripsi dan ijazah sarjananya bagi mahasiswa S1. Tetapi yaitu tadi sk, disertasi, tesis, skripsi dan ijazah itu benar sudah dalam catatan dan ketentuan Allah tapi masih tersimpan dalam buku catatanNya di "lauh mahfudz" atau setidaknya di langit dunia.
Oleh karena itu agar sk, disertasi, tesis dan ijazah kita turun atau diturunkan Allah ke bumi, maka diperlukan ikhtiar untuk menjemputnya. Ya, ikhtiar itu sunatullahNya. Sekali lagi ikhtiar itu menjadi sunatullahNya.
Kalau ada yang bertanya, berapa lama ikhtiarnya, seperti apa liku-liku yang dilaluinya, bagaimana capaiannya dan hal ikhwal kebahagiaannya? Jawabannya, tentu berbeda-beda pada setiap orang sesuai seberapa serius ikhtiarnya, seberapa tingkat tawakalnya dan juga sesuai garisan tangan yang ada.
Jadi, seandainya sk, disertasi, tesis dan ijazah itu dianalogikan bagaikan "suara/ilham kebaikan" (dalam dinia tasawuf ini dijenal dengan hal atau ahwal sebagai karunia Allah), maka dihajatkan ikhtiar, bahkan serangkaian uzlah atau meditasi sebagai maqamat yang mesti dipenuhi.
Makanya uzlah ke kampus, pergi ke pusat-pusat administrasi, berdiskusi di circle-circle ilmiah, belajar, menulis merupakan di antara ikhtiar insaniyah dalam menjemput "suara/ilham kebaikan" yang Allah sediakan. Inilah sebabnya dalam kaifiyatnya dihajatkan laku tirakatan (Jawa) atau tarekat, suluk, thariqat pengkodisian saat uzlah, seperti mendawamkan puasa sunah, qiyamul lail, shalat dhuha, hanya mengonsumsi makanan minuman yang halal dan baik saja, selalu suci memiliki air wudhu dalam seluruh hidupnya, dan bertungkus lumus dalam ketaatan lainnya.
Inilah ikhtiar yang bersepadu dengan tawakal, setali mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Di situ ada ikhtiar, maka pasti ada tawakal, bila di sini ada tawakal, maka pasti ada ikhtiar. Allahu a'lam
Tags:
Muhasabah Harian