Muhasabah 16 Syakban 1443
Keberkahan Gladi Kesederhanaan
Saudaraku, tema tentang gladi terhadap kesiapan akan kesederhanaan ini sengaja diangkat hari ini bukan karena semakin melonjaknya harga-harga, terutama sembako jelang Ramadhan dan hari raya idul fitri kali ini, tetapi kesederhanaan itu sendiri memang merupakan pakaian kemuliaan para Nabi, para aulia, para cerdik pandai, dan kita selayaknya juga memeluknya dalam kehidupan sehari-hari.
Kesederhanaan akan senantiasa melekat mempribadi menjadi identitas kemuliaan sisiapapun dari hambaNya yang merengkuhnya. Oleh karenanya kapanpun dan di manapun kesederhanaan akan melahirkan rasa bahagia dan membawa ke maqam kemuliaan diri, terutama di hadapan Rabbnya.
Kesederhanaan hidup setidaknya dapat merefleksi dalam keseharian seperti saat berbicara, bergaya, bertingkah laku, berkelakar, tertawa, makan, berpakaian, berdandan, dan berbelanja. Kesemua tuntutan sikap sederhana ini hendaknya menjadi tuntunan bahkan tatanan dalam kehidupan, baik diri, keluarga maupun masyarakat.
Pertama, kesederhanaan dalam berbicara. Berbicara secara sederhana juga secukupnya, baik kadar maupun suaranya menjadi tuntunan kemuliaan. Berbicara terlalu keras, nanti dikhawatirkan seperti suara keledai sebagaimana disinggung dalam surat Lukman 19 sikap yang harus dijauhi, bila terlalu boros ngomongnya nanti seperti tong kosong nyaring bunyinya, bila terlalu lemah bicaranya dikhawatirkan pesan juga tidak sampai pada lawan bicara.
Kedua, kesederhanaan dalam gaya. Kebanyakan gaya dipastikan menambah beban hidup, sehingga menjadi berat. Tampil perlente, gonta ganti hp, tas, jilbab, baju, sepatu, asesoris, kendaraan, cat rumah mengikuti trend yang tak pernah mengenal kata final sehingga hidup seolah bisa kenyang dengan mengonsumsi trend, merek atau artifisial lainnya. Akhirnya hidup menjadi berat dan bisa-bisa membebani keluarga atau sesamanya.
Ketiga, kesederhanaan dalam bertingkah laku. Bersikap ekstrem hanya akan mempersulit diri. Makanya sederhana dan moderat dalam bersikap menjadi lebih serasa bahagia. Hidup itu tidak usahlah neko-neko, tidak perlu ekstrem kiri atau kanan, di posisi wasathan yang moderat saja.
Keempat, kesederhanaan dalam berkelakar. Berkelakar itu ibarat bumbu masakan, terlalu banyak bisa menyebabkan nek bahkan mau muntah karenanya. Tapi sebaliknya bila tak ada rasa humor maka serasa hambar dibuatnya. Maka berkelakar secukupnya menjadi nikmat rasanya.
Kelima, kesederhanaan dalam tertawa. Bergembira tentu niscaya, tapi meluapkannya dengan berlebihan, tertawa terbahak-bahak menjadi tidak etis. Apalagi banyak tertawa berpotensi lupa diri juga lupa akhiratnya.
Keenam, kesederhanaan dalam mengonsumsi makanan. Ya syahwat perut bila dituruti maka bisa bagaikan lautan yang semuanya (air hujan, air sungai, lumpur, tanah, dahan kayu, sampah, dan bangkai sekalipun) masuk, dilahab, dilumat dan dilarutkan. Coba bayangkan kalau semua makanan dan minuman masuk atau dimasukkan ke perut, padahal belum tentu dibutuhkan, maka bisa-bisa bukan kekenyangan saja tapi membahayakannya.
Ketujuh, kesederhanaan dalam berpakaian. Mengapa era Soeharto mengeluarkan aturan saat bersekolah harus mengenakan baju seragam? Ya, sebenarnya untuk mendidik kesederhanaan dan kesetaraan; tak dibeda-bedakan kaya miskin. Berpakaian mewah dan mahal bisa berpotensi beda dengan lainnya, sehingga bisa melahirkan kesombongan. Ya sederhana dalam berpakaian agar lebih diterima di sosial masyarakatnya.
Kedelapan, kesederhanaan dalam berdandan. Berhias diri sehingga indah menawan itu penting agar lebih percaya diri dan suami/istri juga keluarga berbahagia karenanya. Tetapi berhias dan berdandan secara berlebihan sehingga mencolok dikhawatirkan menyita perhatian dan mengundang ghibah dari sesamanya, akhirnya dosa yang ada.
Kesembilan, kesederhanaan dalam berbelanja. Siapa dan keluarga mana sih yang bisa melepaskan diri dari aktivitas belanja. Ya belanja atau membeli segala keperluan hidup menjadi niscaya bagi setiap orang dan keluarga. Pokoknya ada saja barang yang harus dibeli untuk keperluan diri dan rumah tangga.
Hal yang penting dipraktikkan adalah belanja barang seperlunya saja, tidak berlebihan. Di antaranya dengan niat dan tekad berbelanja seperlunya saja, mencatat barang apa saja yang akan dibeli. Syukur-syukur tersedia di warung dekat rumah tanpa harus ke pasar atau mal; khawatir banyak costnya, karena banyak yang dilihat sehingga keinginan muncul tiba-tiba. Alhasil belanjaannya melebihi kapasitas dan kebutuhan semula.
Setidaknya kesederhanaan pada sembilan aspek dan aktivitas di atas menjadi representasi sekaligus energi positif untuk melahirkan rasa bahagia. Semoga kita berhasil merengkuhnya. Aamiin ya Mujibassailin.
Tags:
Muhasabah Harian