Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 25 Syakban 1443
Keberkahan Gladi Kebersamaan
Saudaraku, di antara kearifan lokal orang timur yang bisa jadi bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam adalah ngumpul atau berkumpul bersama-sama. Malah di kalangan masyarakat atau keluarga Jawa tempoe doeloe ada ungkapan - meski kini sudah mengalami pergeseran - berbunyi "mangan ra mangan sing penting ngumpul" (makan atau tidak yang penting ngumpul bersama). Terlepas dari pergeseran yang ada, namun nilai filosofi yang ingin diajarkan pada kearifan saat itu (tempoe doeloe) adalah pentingnya kebersamaan atau kegotongroyongan.
Iya betapa pentingnya kebersamaan dalam menjalani kehidupan ini. Hal ini sudah dibiasakan sejak kecil dalam keluarga. Bila nilai kebersamaan sudah biasa dan bisa dicipta, maka banyak hal yang kita bisa lakukan. Bila lidi sudah dikumpulkan dan diikat, maka segala sampah dapat disapu dan dibersihkan. Kira-kira begitu analoginya. Dan kebersatuan atau kebersamaan ini menjadi tatanan yang relatif melembaga dalam hidupan berbangsa dan beragama. Karena keluarga merupakan unit atau "organisasi" terkecil dari sebuah umat.
Kini kebersamaan memang tidak harus hidup "serumah" seperti temlie doelie itu tetapi bisa dari tempat-tempat yang berbeda bahkan berjauhan lintas teritorial, pulau atau negara. Namun yang penting adalah kebersamaan itu menjadi di antara nilai yang dijunjung tinggi oleh Islam. Inilah latar muhasabah hari ini sehingga dikemas di bawah judul keberkahan gladi kebersamaan.
Tema tentang berkah kebersamaan ini sangat aktual dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Termasuk di Aceh pada saat saat jelang bulan Ramadhan seperti hari-hari terakhir Syakban ini. Bahkan untuk mengingatkan filosofi dan nilai kebersamaan dalam keluarga, terdapat tradisi pulang kampung saat meugang. Setidaknya terdapat tiga momen meugang, yakni meugang puasa (jelang bulan Ramadhan seperti srkarang ini), meugang idul fitri (jelang hari raya 1 Syawal) dan meugang idul adha (jelang hari raya haji 10 Dzulhijjah).
Secara umum pada ketiga momen meugang tersebut kepala atau keluarga di Aceh akan mengusahakan dan menyiapkan masakan spesial lengkap dengan daging "meugang"nya untuk dinikmati bersama. Anggota keluarga yang ada di perantauan baik yang sedang menuntut ilmu atau menjalani ananah kehidupan lainnya cenderung lebih senang bila bisa pulang berkumpul bersama dengan seluruh keluarga di kampung halaman.
Duh, indahnya! Kita bisa berkumpul dengan keluarga besar di kampung halaman. Pada saatnya kita bisa berbagi cerita, berbagi cinta dan berbagi pengalaman hidup antar anggota/keluarga. Di samping itu, tentu berbagi "kebahagiaan" agar dinikmati bersama oleh keluarga besarnya. Di sinilah kebersamaan itu diuji; betapa keluarga yang kaya harus membantu yang papa; yang kuat musti mengangkat yang lemah; yang lagi mujur ingat pada saudaranya yang lagi terpuruk dan seterusnya.
Lalu, pertanyaan muhasabahnya sekarang terlepas bisa meugang berssma keluarga di kampung halaman atau tidak adalah sejauh mana kesiapan atau gladi kebersamaan kita dengan keluarga? Nah, tentu statemen ini bisa diperluas seberapa kontribusi kita pada kepentingan bersama dalam keluarga kita, dalam masyarakat kita, dalam organisasi kita, dalam unit kerja kita sampai dalam dinul Islam yang kita rengkuh. Semoga terus menjadi lebih baik. Aamiin
Tags:
Muhasabah Harian