Keberkahan Gladi Kearifan

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 19 Syakban 1443

Keberkahan Gladi Kearifan
Saudaraku, atas kemahamurahanNya, Allah menganugrahi akal kepada kita manusia, di samping qalb (hati) dan fisik yang sempurna. Bila dengan hati kita bisa berzikir, maka dengan akal budi kita dapat berfikir. Berdzikir atas asmaNya, berpikir atas makhlukNya. Ya berpikir, memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah, baik melalui ayat yang tersurat di kitab suci maupun yang terbentang di altar semesta. Aktivitas berpikir yang dipandu oleh iman yang kukuh di hati, dapat melahirkan "hikmah" atau kearifan yang memuliakan. Inilah latar, sehingga muhasabah hari ini dikemas di bawah tajuk keberkahan gladi kearifan.

Secara etik, rasanya hidup ini serasa tak punya makna apa-apa bila hanya untuk menghirup udara dan menghembuskannya setiap hari. Dan rasanya hidup ini juga  serasa hampa bila hanya untuk makan minum, tidur, dan berkeluarga lalu beranak pinak. Bukankah hewan ternak semisal sapi, kerbau, kambing, unggas dan lainnya juga juga demikian. 

Meski oleh para failosof ada yang mendefinisikan bahwa manusia itu "hewan", tapi hewan berpikir (hayawanu nathiq). Dengan demikian berpikir menjadi pembeda yang nyata antara hewan dan manusia. Artinya hanya disebut manusia yang sesungguhnya bila ia berpikir. Mafhum mukhafahnya, siapa saja yang tidak berpikir berarti telah menanggalkan atau meninggalkan identitasnya sebagai hayawanu nathiq. Jadi yang tersisa, tinggal hayawanu saja. Bahkan dalam al-Qur'an disebut kedudukannya lebih rendah lagi. Na'udzubillahi min dzalika!

Allah berfirman yang artinya, Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (Qs. Al-A'raf 179)

Agar tidak terjerembab selevel hewan ternak atau bahkan lebih rendah lagi, maka Islam melalui al-Qur'an yang mulia betapa banyak menuntut menyuruh menuntun kita umatnya agar berpikir, memikirkan tanda atau ayat Qur'an yang Allah turunkan dan ayat semesta yang Allah bentangkan.

Aktivitas berpikir yang dilalui manusia lazimnya dimulai dari berpikir praktis, berpikir teoretis, berpikir mustafad yang filosofis hingga pada tingkat religius dimana manusia menemukan kebenaran sejati melalui wahyu yang diturunkan oleh Allah ta'ala.

Dalam altar sejarah, dengan estafet kerisalahan yang diemban, para ulama, para aulia dan para cerdik cendekia selalu tampil membimbing umat dengan ragam hikmah atau kearifan yang terjaga. Oleh karenanya hikmah atau kearifan selalu memuliakan bagi sesiapapun yang berhasil menjumputnya di manapun berada lalu merengkuhnya.

Dalam kehidupan praktis kearifan bisa mewujud dalam seluruh aktivitas hidup dan kehidupn manusia. Beristirahat, bangun tidur, bergerak, bekerja, belajar, mengajar, mencari dan memenuhi nafkah keluarga, shalat, berpuasa, mengeluarkan zakat, menunaikan haji dan melakukan peribadatan lainnya ditunaikan berlandaskan niat ikhlas mengabdi pada Ilahi, sistemik, konsentrasi/khusyuk, disiplin, bertanggungjawab tertib, dan istikamah.

Sebagai ilustrasi, tentu sebaiknya saat kita beristirahat maka dilakukannya secara proporsional, pada saat yang tepat, niatnya agar Allah memberi kebugaran sehingga dapat beraktivitas keseharian yang bermakna. Dan saat masih dianugrahi umur, kitapun dibangunkan oleh Allah di dini hari, tentu tak lupa mensyukurinya. Oleh karenanya dalam menjalani ragam aktivitas kesehariannya adalah pembuktian rasa syukur kepada Allah ta'ala.

Saat hidup di dunia ini kita maknai dengan gerak dinamis, maka gerak yang kita lakukan hanya gerak teleologis dimana seluruh aktivitas gerak yang kita lakukan senantiasa berorientasi pada keridhaaan Allah semata 

Ketika bekerja, karena bisa melakukannya juga hanya karena karunia Allah semata, maka pekerjaan yang menjadi peran, tanggungjawab dan amanah kita dilakukan dengan ikhlas, cerdas, dan tuntas.

Saat belajar mengajar tentang hidup dan kehidupan ini, tentu juga harus dilakukan dengan bijak, sehingga menuai berkah. Belajar tanpa mengenal kata final, mengajar dilandasi dengan niat ikhlas, semangat dan penuh dedikasi.

Ketika mencari dan memenuhi nafkah keluarga,  maka dilakukannya secara amanah, sehingga yang dibawa ke rumah hanya nafkah yang baik dan halal  saja.

Ibadah shalat, berpuasa, mengeluarkan zakat, menunaikan haji atau ibadah yang disyariatkan lainnya dutunaikan dengan ikhlas hanya berharslap ridha Allah ta'ala. Demikian juga semua aktivitas bermakna lainnya yang harus ditunaikan secara arif dan bijaksana. Allahu a'lam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama