Keberkahan Gladi Dzikir


Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 11 Syakban 1443

Keberkahan Gladi Dzikir
Saudaraku, di samping olah pikir, gladi kesiapan yang layak diperhatikan - apalagi jelang Ramadhan - adalah dzikir. Kita sadari, bila natijah dari aktivitas berpikir adalah mengenali diri dan Ilahi, maka pada tataran praksis semestinya menyembul pada intensitas dalam menyebut namaNya. Dalam bahasa agama dikenal dengan dzikrullah atau disingkat dzikir. Inilah yang melatari tema muhasabah hari ini sehingga diracik di bawah judul keberkahan gladi dzikir. 

Ya gladi kesiapan untuk mengistikamahi dzikir agar dapat terus didawamkan dalam keseharian kita sebagai orang-orang beriman. Semestinya tidak sulit membasahi lisan dengan asmaul husnaNya Allah atau lafal apa saja yang dapat mengikatkan merekatkan hati denganNya. 

Seringkali banyak waktu luang dalam keseharian kita hilang begitu saja, berlalu sia-sia belaka. Entah apa yang dipikirkan? Entah apa yang dilamunkan? Entah apa yang bergejolak di hati menari-menari menengaruhi meninabobokkan? Entah apa yang dikerjakan? Seringkali tanpa makna. Tahu-tahu sudah pagi, siang, sore dan malam. Hari, pekan, bulanpun berlalu, kitapun semakin dimakan usia. Astaghfirullahal'adhim 

Padahal waktu yang masih disediakan oleh Allah untuk kita sama yakni sehari semalam 24 jam. Maka agar Allah membersamai hidup kita, maka tinggal saja diniati di hati dan dipikirkan dengan akal budi, dan asmaNya dibiasakan basah di lisan serta dikukuhkan dalam setiap gerak dan laku sehari-sehari. 

Dalam tuntunan Islam mengajarkan bahwa dzikir mestinya satu paket yang harus simulthan atau setali mata uang dengan pikir, sehingga tidak boleh ada yang dikesampingkan. Meskipun tetap dapat dibedakan antar keduanya. 

Bila aktivitas berdzikir itu lebih pada pemberdayaan hati, sedangkan berpikir lebih pada akal budinya. Bila obyek berdzikir adalah Allah, maka obyek berpikir adalah alam semesta dan makhluk sebagai ayat (tanda) kebesaranNya. Bila tujuan berdzikir adalah memperoleh ketenangan jiwa (tathmainul qulub, ketenangan dan kebahagiaan hati), maka tujuan berpikir adalah untuk memperoleh keleluasan cakrawala ilmu dan hikmahNya.

Dengan demikian, karena satu kesatuan yang sistemik, maka orang yang berpikir saja tanpa dibarengi dengan berdzikir dapat terjungkir tersingkir, dan sebaliknya orang berdzikir saja tanpa berpikir bisa hampa karena hatinya tak turut hadir. 

Berdzikir dapat lazim dilakukan oleh umat Islam, terbagi pada tiga tingkat, yakni berdzikirnya orang-orang biasa, orang-orang khusus, dan orang-orang khawas al-khawas. Meskipun ada yang menyebut bahwa kelas pertama sebagai elementry class itu berdzikirnya menyebut “laa ilaha illallah” berulang-ulang, kelas kedua the middle class berdzikirnya dengan menyebut “Allah” berulang-ulang, kelas tertinggi khawas al-khawas berdzikirnya dengan menyebut “hu” berulang-ulang.

Namun secara subyektif, loentuan rasa bahwa pemeringkatan tersebut sejatinya bergantung pada seberapa tingkat “hadir hatinya”, seberapa dipikirkan melalui akal budi dan seberapa memengaruhi kedekatan dirinya pada Ilahi Rabby.

Tingkat dasar ditempati oleh orang-orang berdzikir dengan hadir hati tetapi tidak sepenuhnya. Tingkatan khusus ditempati oleh orang-orang berdzikir dengan hadir hati sepenuhnya. Dan tingkatan khawas al-khawas ditempati oleh orang-orang pilihan dimana saat berdzikir tidak saja hadir hatinya tetapi bahkan dirinya larut dalam aura Ilahiyah, sehingga kesadaran atas kemakhlukannya menjadi fana dan yang baqa adalah kesadaran akan ilahiyahnya. 

Ketiga tingkatan ini tentu juga dimungkinkan terjadi pada seorang salik. Tetapi dalam tingkatan manapun, biarlah menjadi privasi masing-masing diri sekaligus sebagai pengalaman religiusitas yang mengiringinya. Hal yang pasti berdzikir merupakan tuntunan yang sangat ditekankan oleh Islam. 

Allah berfirman yang artinya, Dan berzikirlah pada Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (Qs. Al-Jumu’ah 10) Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. Al-Ahzab 35). Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Qs. Al-Ahzab 41-42). Dan yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.(Qs. Al-Ra'du 28)

Dan Anas ibn Malik ra juga meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: Jika kalian melewati pertamanan surga, maka menggembalalah. Shahabat bertanya: Apakah pertamanan surga itu wahai Rasulullah? Rasulullah saw menjawab: majlis-majlis dzikir. (Hr. al-Tirmidzi).

“Taman-taman surga” itu bisa jadi ada di sekitar lingkungan sosio kultural masyarakat kita, tetapi yang paling penting atau bahkan taman surga yang paling luas adalah di hati kita. Maha benar Allah dengan segala firmanNya. Demikian juga Rasulullah dengan hadisnya. 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama