Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 27 Dzulhijjah 1442
Doa agar Dianugrahi Ilmu
Saudaraku, tema muhasabah hari ini masih berusaha mengambil ibrah dari doa atau permohonan yang disuriteladankan oleh para rasul dan orang-orang beriman yang diabadikan oleh Allah dalam al-Qur’an. Kali ini tentang doa agar dianugrahi ilmu. Allah berfirman dalam al-Qur’an, artinya ...dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu." (Qs. Taha 114)
Ilmu merupakan di antara rezeki yang Allah anugrahkan kepada hamba-hambaNya yang dikehendaki dengan mengikuti sunatullahNya. Mencari dan menguasai ilmu menjadi sangat penting, karena akan bersinergi dengan kualitas iman. Iman dapat terpatri semakin kukuh ketika bersinergi atau disenergikan dengan penguasaan ilmu dan dibuktikan dengan beramal shalih dalam kehidupan. Jadi, iman, ilmu, dan amal merupakan tiga komponen yang terjalin berkelindan saling menguatkan. Ketika salah satunya melemah, maka akan berakibat melemahnya yang lainnya. Oleh karenanya dalam muhasabah kali ini kita berkepentingan untuk terus berdoa memohon kepada Allah agar menganugrahi ilmu.
Mengapa kita memohon ilmu kepada Allah? Ya, tentu, karena dalam epistemologi Islam diyakini bahwa ilmu itu bersumber dan berasal dari pemiliknya, yakni Allah Yang Maha Mengetahui. Allah menciptakan alam baik alam besar (makro kosmos, jagad raya) maupun alam kecil (mikro kosmos, manusia) serta menurunkan wahyu (Qur'an Hadis), maka ada ilmu yang dapat diperoleh ketika mentadaburi alam (yang sering disebut dengan ilmu akliah) dan ada ilmu yang diperoleh melalui pembacaan kreatif atas wahyu (yang kemudian cenderung melahirkan ilmu naqliah).
Baik ilmu akliah maupun naqliah, merupakan sarana yang dapat menyampaikan diri kita pada sumber hakikinya, yaitu Allah swt. Oleh karenanya pencarian ilmu, penguasaan ilmu, dan pengamalan ilmu idealnya dapat menjadi wasilah atau instrumen bagi kita atau bagi setiap orang yang berkidmat kepadanya bagi kedekatannya dengan Allah ta'ala. Inilah kira-kira di antara yang dimaksudkan oleh Allah dalam firmanNya, sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama (orang-orang yang berilmu), sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Fathir 28)
Berdasarkan normativitas yang terjemahannya tertera di atas, di antaranya dipahami bahwa ciri utama orang yang berilmu bukan saja bergantung tinggi dan panjang gelar akademik yang disandingkan pada namanya, tetapi seberapa takut (baca tajwa) dirinya kepada Allah ta'ala.
Agar dapat mengantarkan kepada pemilik sejatinya maka ilmu yang telah kita miliki mestinya diamalkan. Dengan demikian keberkahan ilmu yang dimiliki oleh seseorang bukan terletak pada banyaknya, tetapi pada pengamalannya. Ilmu yang tidak mewujud dalam amal dan tidak memengaruhi perbaikan perilaku yang empunya ibarat pohon yang rindang tetapi tidak berbuah dan tidak bisa menjadi tempat bernaung dari hujan dan panas, sehingga tidak mendatangkan manfaat dalam kehidupan. Dengan kata lain keberkahan ilmu ketika dapat memberi kemanfaatan bagi kehidupan saja.
Ketika ilmu dapat mendatangkan kemanfaatan dan bisa memengaruhi perbaikan perilaku pemiliknya, maka keberkahannya juga akan tampak jelas pada akselerasi perkembangan ilmu dan hikmahnya yang terus meluas tanpa batas sekat cakrawala yang ada. Bahkan sering tanpa disangka-sangka oleh pemeluknya sendiri. Di sinilah letaknya ilmu yang amaliah itu mengantarkan pemiliknya pada ketinggian akhlak dan kerendahatian budi pekerti.
Sebaliknya terhadap ilmu meskipun banyak sekalipun yang terindikasi pada panjang dan tingginya gelar yang disandang, tetapi ketika tidak dapat mendatangkan manfaat bagi kehidupan dan tidak membawa sipemiliknya kepada perbaikan akhlak, maka apalah makna bagi diri, sesama dan agamanya. Makanya di sini bisa dipahami bahwa ilmunya (baca gelarnya) tidak berhasil mengantarkannya pada ketinggian akhlak dan kerendahan budi pekerti. Justru sebaliknya menyebabkan kesombongan dan kekufuran. Nauzdubillah.
Nah, agar ilmu yang kita miliki amaliah dan amal yang kita lakukan ilmiah, serta dapat mengantarkan diri kita kepada kedekatan dengan Allah. Inilah, makanya Nabi Muhammad saw mengajarkan untuk berdoa dianugrahi ilmu yang bermanfaat.
اَللَّهُمَّ إنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang halal, dan amal yang diterima.” (Hr. Ahmad 6/322, Ibnu Majah no. 925)
Di sini permohonan ilmu yang bermanfaat disandingkan bersinergi dengan permohonan rezeki yang halal dan amal diterima, karena terjalin berkelindan.
Dan sari Abu Hurairah ra, Nabi bersabda,
اَللَّهُمَّ انْفَعْنِيْ بِمَا عَلَّمْتَنِيْ وَعَلِّمْنِيْ مَا يَنْفَعُنِيْ وَزِدْنِيْ عِلْمًا
“Ya Allah, berikanlah manfaat kepadaku dengan apa-apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat bagiku dan tambahkanlah ilmu kepadaku. (Hr. al-Tirmidzi no. 3599 dan Ibnu Majah no. 251, 3833)
Dan dari Zaid bin Al Arqam, Nabi bersabda,
اَللَّهُمَّ إنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعْ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعْ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعْ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusuk’, nafsu yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan.”(Hr. Muslim no. 2722 dan Al Nasaa-i 8/260)
Di sini permohonan ilmu yang bermanfaat disandingkan dan bersinergi dengan hati yang khusyuk, nafsu yang diridhai atau nafsu al-mutmainah dan doa yang mustajabah. Keempat permohonan ini bisa berdiri sendiri, tetapi juga bisa terjalin berkelindan. Artinya ilmu yang bermaanfaat itu di antaranya dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari dimana hatinya semakin khusyuk, nafsunya diridhai Allah dan doanya yang mustajabah. Dan tanda ilmu yang tak bermanfaat adalah hatinya tidak khusyuk, nafsunya tidak pernah puas dan permohonannya tidak terkabul. Allahu a'lam
Tags:
Muhasabah Harian