Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 16 Syakban 1444
Seimbang; Lupa & Ingat?
Saudaraku, dalam menjalani keseharian hidup ini, persoalan lupa dan ingat sejatinya hal biasa dan lazim terjadi pada siapa saja. Tetapi ketika terjadi pada sisi religiusitas menjadi berbeda.
Bila lupa secara umum dipahami sebagai ketidaksetiaan ingatan atau pikiran dalam menyimpan informasi yang telah diterimanya atau apa-apa yang telah dilaluinya, maka ini hal yang biasa. Bahkan ada lupa yang justru sebagai kebaikan. Misalnya lupa pada hal-hal yang "tidak berkenan" terhadap diri atau keluarganya, seperti mengalami atau melihat kejadian yang mengerikan, melihat sesuatu yang menjijikkan. Dalam akhlak, kita juga dituntun melupakan perbuatan baik yang kita lakukan pada orang lain dan sebaliknya mengingat jasa orang lain pada kita.
Akan tetapi lupa dalam ranah religiusitas yang dipahami sebagai sikap lupa diri sehingga suka melanggar aturan Tuhan (baca Qs al-Hasyr 19) dan mengabaikan titah Ilahi menjadi sangat berisiko. Mengapa? Karena tentang lupa (diri) ini, kita dingatkan oleh Allah dalam firmanNya yang artinya Maka pada hari ini (Kiamat), Kami melupakan mereka sebagaimana mereka dahulu melupakan pertemuan hari ini.” (QS.Al-A’raf 51)
“Mereka telah melupakan kepada Allah, maka Allah melupakan mereka (pula).” (QS.At-Taubah 67) Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan.” (QS.Thaha 126)
Jadi lupa diri menjadi kondisi dan penyakit hati yang bisa terjadi di sepanjang sejarah kemanusiaan, kapanpun, di manapun dan dapat menjangkiti siapapun. Oleh karenanya kita harus terus berlindung pada Allah dari keadaan lupa diri.
Bila kita cermati, maka latar belakang perutusan para rasul pada umat-umat terdahulu adalah karena manusia pada masanya telah lupa diri. Coba bayangkan, terhadap dirinya sendiri saja lupa, apalagi pada keluarga dan sesamanya? Terlebih pada Allah rabbnya. Akhirnya lupa segalanya.
Kita bisa membaca sejarah kemanusiaan betapa manusia lupa diri sehingga menyalahi titah Ilahi. Seperti Qabil yang tega membunuh Habil saudaranya sendiri, Namrud berlaku dzalim atas Ibrahim, Fir'aun mengaku berkuasa seperti tuhan, sikayaraya Qarun yang serakah dan sombong, siilmuwan Haman yang menjilat penguasa dzalim, Tsaklabah yang tak tahu bersyukur dan seterusnya.
Seabad yang lalu, adalah Ronggowarsito (14 Maret 1802–24 Desember 1873) seorang pujangga besar Jawa pada masa Pakubuwono IX dan juga seorang sufi yang mengikuti amalan-amalan tarekat Walisongo pernah merangkai sinom atau lirik lagu yang berisi kerisauan hatinya saat kraton dikelilingi oleh para penjilat.
Amenangi jaman édan, éwuhaya ing pambudi, mélu ngédan ora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersaning Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawan waspada. (Menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapat bagian, kelaparan pada akhirnya, namun semua telah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat (Allah) dan waspada (hati-hati)).
Di jaman kini pun, rasanya lupa diri juga masih menjadi problem kemanusiaan yang masing-masing diri dituntut untuk lebih eling, lebih ingat, lebih berhati-hati dan lebih waspada. Ingat, hati-hati dan waspada ini dalam bahasa agama dikenal dengan takwa. Karena hanya dengan takwa kita menjadi bahagia. Di antara tanda paling penting dari takwa adalah ingat diri, tahu diri, ingat keluarga, ingat saudara, dan ingat Allah ta'ala apanpun, ke manapun, di manapun, dengan siapapun, dan dalam kondisi yang bagaimanapun jua. Allahu a'lam
Tags:
Muhasabah Harian