"Cinta" Tahta

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 12 Rabiul Akhir 1444

"Cinta" Tahta
Saudaraku, di samping harta dan wanita/pria/keluarga, kecintaan terhadap tahta atau kekuasaan telah sangat mengemuka sepajang sejarah manusia. Dengan tahta yang diembannya segala kesenangan di dunia seolah bisa diraihnya, ya harta, ya keluarga, ya kolega ya popularitas dan segala kesenangan yang melekat padanya. Allah berfirman yang artinya, “Dijadikan indah dalam pandangan manusia, kecintaan terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik” (Qs. Ali Imran 14).

Tahta membawa pesona yang amat berbeda.  Oleh karenanya pesona tahta telah menyita hampir seluruh perhatian manusia, sehingga untuk meraihnya diperlukan cost yang tidak sedikit, seperti  perhatian dan pengorbanan yang bersifat immateri maupun apalagi materi. Segala kemampuan dikerahkan untuk meraihnya,.

Di antara hal yang dirisaukan - dan tentu harus dihindari-, karena saat berusaha meraihnya telah mengerahkan segala daya dan menghabiskan tenaga, pikiran juga harta benda, maka ada di antara yang berhasil duduk di tahta kemudian malah menikmati masa istirahatnya (karena sudah lelah saat masih kampanye dan saat berusaha meraihnya) dan juga berusaha mencari mendapatkan ganti atas tenaga dan harta benda yang telah dikeluarkan sebelumnya. Mestinya juga diingat atau dingatkan bahwa dalam sejarah kemanusiaan tahta telah banyak menggelincirkan orang, meskipun tetap juga ada yang menyelamatkan dan membahagiakan.

Oleh karenanya layak bagi kita untuk mengingat kembali tentang koridor "mencintai" tahta atau amanah apapun yang dipercayakan pada setiap pribadi kita.

Pertama, meyakini sepenuh hati bahwa tahta, kedudukan, jabatan, kursi, kepemimpinan dan kekuasaan apapun yang diberikan adalah amanah. Amanah tetaplah amanah yang layak dijaga dan ditunaikan sebagaimana mestinya. Karena amanah itu kepercayaan yang diberikan, maka harus dijaga dan dipenuhi guna meraih kemaslahatan bersama. Nah inilah, filosofi etisnya tahta,  karena amanah maka tidak etis bila tahta diminta. Tapi ya begitulah realitas umumnya sehingga seolah menjadi lazim berebut amanah dengan cara meminta-minta. Dan tentu juga banyak yang mengemban amanah tahta itu karena diberikan bukan karena diminta.

Kedua, tidak henti-hentinya melafalkan rasa syukur dengan membiasakan diri menyebut asmaNya, Allah zat yang maha mengangkat dan menurunkan sesiapapun yang dikehendakiNya. Alhamdulillah dianugrahi kesempatan, kesehatan, kekuatan dan iman sehingga dapat menunaikan amanah.

Allah berfirman yang artinya Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. (Qs. Ali Imran 26)

Ketiga, memikul dan memenuhi amanah apapun yang telah dipercayakan guna meraih keridhaan Allah taala. Dengan tahta dan jabatan yang ada idealnya diabdikan sepenuhnya untuk syiar dan kejayaan Islam, menegakkan yang makruf mencegah yang munkar.
Dengan amanah yang diberikan idealnya digunakan sebagai sarana lebih mendekatkan diri pada Allah dan dengan kekuasaannya dapat mengajak orang lain dalam jetaatan dan kesabaran.

Dengan amanah tahta berarti mengemban kepeminpinan. Dan menjadi pemimpin berpeluang memperoleh keberkahan, di antaranya naungan dari Allah. Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah Saw, sesungguhnya beliau bersada : ”Ada tujuh golongan yang akan  dinaungi Allah di bawah naungan-Nya pada hari yang tiada naungan lain selain naungan-Nya, yaitu : (1). Pemimpin yang adil dan jujur, (2). Seorang lelaki betemu seorang perempuan cantik dan berpangkat lalu perempuan itu menawarkan dirinya kepada laki-laki tersebut dan laki-laki tersebut  mengatakan : “Sesungguhya aku takut kepada Allah rabbul alamin”, (3). Seseorang yang hatinya tertambat di masjid-masjid, (4). Seseorang yang mempelajari al-Qur’an sejak muda dan terus dibacanya sampai tua, (5). Seseorang  yang merahasiakan sedekahnya sehingga apa yang diberikan oleh tangan kanannya tidak diketahui oleh tangan kirinya, (6). Seseorang yang ingat kepada Alah (dzikrullah) di tengah-tengah orang banyak sambil melelehkan air matanya karena takut kepada Allah, (7). Seseorang bertemu orang lain lalu dia mengatakan : Aku mencintaimu karena Allah, yang disambut oleh temannya itu : Akupun mencintaimu karena Allah”. (HR Baihaqi, dalam Syu’abul Iman).

Mengapa pemimpin yang adil dan jujur diletakkan sebagai golongan pertama? Ya, di antaranya karena pemimpin yang adil dan jujur mampu memenuhi enam kritetia berikutnya. Jadi di samping adil dan jujur, pemimpin itu 
1. Takut pada Allah sehingga tak tergoda oleh lawan jenisnya.
2. Hatinya tertambat ke masjid
3. Ahli Qur'an
4. Merahasiakan sedekahnya
5. Bangun di sepertiga akhir malam bersimpuh di haribaan Allah
6. Bertemu dan berpisah karena Allah.

Semoga. Aamiin ya Mujib al-Sailin


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama