Cinta dan Ikhlas

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 17 Rabiul Akgur 1444

Cinta dan Ikhlas
Saudaraku, dalam serangkaian muhasabah akhir-akhir ini sudah cukup untuk menyatakan bahwa cinta itu anugrah Allah. Baik cinta pada Allah, cinta pada rasulNya, cinta pada syariatNya dan cinta kepada sesama makhlukNya. Termasuk cinta kepada lawan jenisnya yang kemudian malahirkan pranata ta'aruf, nikah juga keluarga. Tentu, karena anugrah maka cinta musti disyukuri. Cinta lawan jenis itu musti disyukuri. Coba bayangkan ketika yang terjadi adalah cinta kepada sesama jenis, lalu lesbian atau homoseksual. Bukankah ini kontrafitrah, maka cinta kepada lawan jenis adalah fitrah. 

Karena fitrah, maka perwujudannya juga musti sesuai dengan tuntunanNya, yakni cinta yang dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah ta'ala. Begitu juga halnya ibadah dan atau perbuatan baik lainnya, mustinya juga dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah ta'ala. Hal ini sangat tegas dinyatakan dalam hadits Nabi.

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al-Khattab ra dia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya setiap  perbuatan tergantung niatnya. Dan  sesungguhnya setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan”. (Hr. Al-Bukhari dan Muslim)

Asbabul wurud atau sebab "turun"nya  hadits tersebut adalah dikarenakan ada di antara sahabat Nabi saat melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah, semata-mata disebabkan karena terpikat oleh seorang wanita yang ingin dikawininya yakni Ummu Qais. Setelah mengetahui maksud orang tersebut, lalu  Nabi bersabda sebagaimana hadits di atas. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan Muhajir Ummi Qais”, Orang yang hijrahnya karena Ummu Qais.

Berdasarkan normativitas di atas di antaranya dipahami bahwa orang yang berbuat sesuati bergantung pada niatnya. Maka perbuatan yang baik seyogyanya bergantung pada keikhlasan niatnya, yakni karena Allah semata. Bila berbuat baik (seperti berhijrah dalam hadits di atas) dikarenakan ingin memperoleh pujian atau ingin menarik perhatian lawan jenisnya, maka begitulah peruntukan niatnya. Padahal, andai saja hijrahnya atau perbuatan baiknya benar-benar dilandasi dengan niat ikhlas lillahi taa'ala, maka bisa jadi keberkahannya akan jauh melampaui dari peruntukan niatnya, termasuk rezeki dan jodohnya.

Seseorang yang melanjutkan kuliah semata-mata agar mendapatkan pekerjaan setelah lulusnya, bisa jadi setelah lulus Allah akan menganugrahkan perkerjaan baginya atau ia berhasil memperoleh pekerjaan yang layak. Nah, hal ini tentu akan berbeda bila sejak mula saat melanjutkan studi berniat untuk mendalami ilmu sebagaimana tuntunan Islam, sehingga dengannya akan mengantarkan pada pengenalan diri juga Ilahi yang ditandai dengan semakin takwanya pada Allah ta'ala. Karena niatnya ikhlas, maka di samping telah dibalas pahala karena mematuhi perintah Allah, juga memperoleh keberkahan lainnya seperti pekerjaan yang layak, jodoh yang qurrata akyun dan sakinah mawaddah warrahmah. 

Seseorang bekerja (bertani, beniaga, berkantor) untuk mendapatkan penghasilan yang cukup, maka bisa jad akan diijabah oleh Allah apa yang diinginkannya. Tetapi akan berbeda halnya ketika bekerja itu benar-benar berniat karena Allah semara7, lillah bermaksud untuk memenuhi tuntunan syariatNya, maka insyaallah balasannya justru melampaui dari peruntukannya, seperi limpahan rezeki dan ragam keberkahannya. Begitu juga aktivitas dan perbuatan hari-hari lainnya.

Dengan ilustrasi di atas dapat dipahami bahwa cinta dan ikhlas mustinya bermuara pada Allah ta'ala. Semoga kita dianugrahi hati, cinta dan ikhlas. Aamiin ya Mujib al-Sailin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama