Cinta pada Saudara

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 5 Rabiul Akhir 1444

Cinta pada Saudara
Saudaraku, setelah mengulangkaji tentang cinta yang sejatinya ranahnya hati, maka sampai di sini saya berkesimpulan bahwa secara substantif orang-orang beriman itu memiliki hati yang luas dan luwes, meski organ fisik lahiriahnya hanya sebegitunya. Merujuk pada sebuah riwayat, hati itu diilustrasikan hanya sebesar "segumpal daging". 

Rasulullah saw bersabda,

 أَلآ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ  الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلآ وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sungguh di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika daging tersebut baik, baiklah seluruh tubuh. Jika rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (Hr. Al-Bukhari dan Muslim)

Segumpal itu ya segumpal menunjuk ukuran tertentu, tapi hebatnya di dalamnya mampu menampungi segala rasa bak samudra yang tak bertepi yang juga menampungi segala benda, meski air dominannya Sudahlah luas, tapi juga luwes menyesuaikan dan sangat dinamis.

Dalam konteks perasaan cinta saja, kita tsk kuasa membayangkan seluruh perasaan cinta pada Allah, rasulNya, kitab suciNya, ajaranNya, syariatNya bisa tertambat berlabuh di sini, di hati. Itupun masih juga menampungi cinta terhadap diri sendiri, orangtua, pasangan, anak, bahkan saudara yang menjadi tema muhasabah hari ini.

Nah dalam konteks muhasabah hari ini, mengapa kita mencintai saudara? Ya karena Allah memerintahkannya. Allah berfirman yang artinya, sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…” (QS. Al-Hujurat 10). Oleh karenanya dalam menjalani hidup dan kehidupan ini musti menjadi penolong satu sama lain “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” (QS. Al-Taubah 71)

Saudara yang dimaksud di sini tidak terbatas pada saudara kandung, saudara seayah atau seibu, akan tetapi lebih luas lagi mencakupi saudara sesama muslim, saudara setanah air, saudara sesama manusia.

Nabi Muhammad saw bersabda: Pada suatu ketika ada seorang lelaki yang mengunjungi saudaranya di desa lain. Kemudian, Allah mengutus seorang malaikat untuk menemui orang tersebut. Ketika orang itu di tengah perjalanannya ke desa yang dituju, malaikat tersebut bertanya: Hendak pergi ke mana kamu? Orang itu menjawab: Saya akan menjenguk saudara saya yang berada di desa lain. Malaikat itu terus bertanya kepadanya: Apakah kamu mempunyai satu perkara yang menguntungkan dengannya? Laki-laki itu menjawab: Tidak, saya hanya mencintainya karena Allah Azza wa Jalla. Akhirnya malaikat itu berkata: Sesungguhnya aku ini adalah malaikat utusan yang diutus untuk memberitahukan kepadamu bahwasanya Allah akan senantiasa mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu karena Allah. (HR Muslim).

Dengan mencintai saudara, kita akan memperoleh cintaNya Allah ta"ala. Apalagi saudara kandung. Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah termasuk golonganku orang yang tidak menghormati orang yang lebih tua dan tidak menyayangi yang muda.” (Hr. Ahmad dan A-Thabrani) Dan di riwayat lain Rasulullah saw bersabda, Berbaktilah kepada ibu dan ayahmu, lalu pada saudari perempuanmu dan saudara laki-lakimu, kemudian kepada yang terdekat denganmu dan yang terdekat lagi denganmu.” (HR. Al-Hakim, asalnya terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Al-Sunan).

Bagaimana mencintai saudara? Dari Anas dari Nabi saw bersabda: Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”(HR. Bukhari)

Dengan demikian sudah sangat lugas bahwa cara mencintai saudara sama dengan mencintai diri sendiri. Maka ikhtiar memenuhi kebutuhannya dan menjaga perasaannya menjadi penting sebagaimana memenuhi kebutuhan diri sendiri dan menjaga perasaan diri sendiri.

Ilustrasi di atas bahkan sebagai indikator kesempurnaan keimanan seseorang, mencintai karena Allah. Karena cinta kepada saudara hanya karena Allah, maka relasi, interaksi dan komunikasinya juga senantiasa berada dalam koridor ketaatan kepadaNya, dalam rangka mengindahkan syariatNya. Aamiin ya Mujib al-Sailin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama