Cinta pada Ilmu

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah ke-2.700, Tahun ke-8, 6 Rabiul Akhir 1444

Cinta pada Ilmu 
Saudaraku, di antara karunia yang Allah anugrahkan kepada hamba-hambaNya adalah curiositi atau keingintahuan akan segala sesuatu, sehingga dengannya memiliki ilmu pengetahuan. Bahkan pada banyak orang di antara kita yang sudah sampai pada maqam mencintai ilmu. Inilah latar muhasabah hari ini sehingga diracik di bawah judul cinta pada ilmu.

Dalam iman Islam, dengan segala asbabnya, mencari dan menguasai ilmu menjadi sangat penting, karena akan bersinergi dengan kualitas iman. Iman dapat terpatri semakin kukuh ketika bersinergi atau disenergikan dengan penguasaan ilmu dan dibuktikan dengan beramal shalih dalam kehidupan. Jadi, iman, ilmu, dan amal merupakan tiga komponen yang terjalin berkelindan saling menguatkan. Ketika salah satunya melemah, maka akan berakibat melemah pada yang lainnya. Oleh karenanya kecintaan pada ilmu dalam muhasabah kali ini mustinya bersinergi dengan kecintaannya pada iman dan amal shalih.

Dalam epistemologi Islam dinyatakan bahwa ilmu bersumber dan berasal dari Allah Yang Maha Mengetahui. Allah menciptakan alam baik alam besar (makro kosmos, jagad raya) maupun alam kecil (mikro kosmos, manusia) serta menurunkan wahyu (Qur'an Hadis), maka ada ilmu yang dapat diperoleh ketika mentadaburi alam (yang sering disebut dengan ilmu akliah) dan ada ilmu yang diperoleh melalui pembacaan kreatif atas wahyu (yang kemudian cenderung melahirkan ilmu naqliah).

Baik ilmu akliah maupun naqliah, merupakan sarana yang dapat menyampaikan diri kita pada sumber hakikinya, yaitu Allah swt. Oleh karenanya kecintaan ilmu, pencarian ilmu, penguasaan ilmu, dan pengamalan ilmu idealnya dapat menjadi wasilah atau instrumen bagi kita atau bagi setiap orang yang berkidmat kepadanya kepada kedekatannya dengan Allah ta'ala. Inilah kira-kira di antara yang dimaksudkan oleh Allah dalam firmanNya, sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Fathir 28)

Berdasarkan normativitas di atas, maka dipahami bahwa ciri utama orang yang berilmu bukan saja bergantung tinggi dan panjang gelar akademik yang disandingkan pada namanya, tetapi seberapa takut dirinya kepada Allah ta'ala. Takut kepada (siksaan) Allah dibuktikan dengan melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Takut seperti inilah yang lazim dikenal dengan takwa. Oleh karenanya takut kepada Allah justru dilakukan dengan mendekat pada Allah (taqarrub ilallah) dan tidak menjauh seperti takutnya dengan orang atau binatang buas.

Agar dapat mengantarkan kepada pemilik sejatinya maka ilmu yang telah kita miliki mestinya diamalkan. Dengan demikian keberkahan ilmu yang dimiliki oleh seseorang bukan terletak pada banyaknya, tetapi pada pengamalannya. Ilmu yang tidak mewujud dalam amal dan tidak memengaruhi perbaikan perilaku yang empunya ibarat pohon yang rindang tetapi tidak berbuah dan tidak bisa menjadi tempat bernaung dari hujan dan panas, sehingga tidak mendatangkan manfaat dalam kehidupan. Dengan kata lain keberkahan ilmu ketika dapat memberi kemanfaatan bagi kehidupan saja.

Ketika ilmu dapat mendatangkan kemanfaatan dan bisa memengaruhi perbaikan perilaku pemiliknya, maka keberkahannya juga akan tampak jelas pada akselerasi perkembangan ilmu dan hikmahnya yang terus meluas tanpa batas sekat cakrawala yang ada. Bahkan sering tanpa disangka-sangka oleh pemeluknya sendiri. Di sinilah letaknya ilmu yang amaliah itu mengantarkan pemiliknya pada ketinggian akhlak dan kerendahatian budi pekerti. 

Sebaliknya terhadap ilmu meskipun banyak sekalipun yang terindikasi pada panjang dan tingginya gelar yang disandang, tetapi ketika tidak dapat mendatangkan manfaat bagi kehidupan dan tidak membawa sipemiliknya kepada perbaikan akhlak, maka apalah makna bagi diri, sesama dan agamanya. Makanya di sini bisa dipahami bahwa ilmunya (baca gelarnya) tidak berhasil mengantarkannya pada ketinggian akhlak dan kerendahan budi pekerti. Justru sebaliknya menyebabkan kesombongan dan kekufuran. Nauzdubillah.

Agar ilmu yang kita miliki amaliah dan amal yang kita lakukan ilmiah, serta dapat mengantarkan diri kita kepada kedekatan dengan Allah, maka kita berdoa memohon hidayah pada Allah.

Nah, bagaimana langkah praktis mencinta ilmu? Allah berfirman yang artinya “Wahai golongan jin dan manusia! Jika kau sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan bisa menembusnya kecuali dengan kekuatan (dari Allah) ” (Q.S. ar-Rahman 33)

Pertama, meluruskan niat sebagaimana para pecinta yang musti tulus ikhlas bahwa mencari dan menguasai ilmu itu karena Allah, di atas relNya Allah dan untuk meraih ridhaNya.

Kedua, setidaknya harus dimulai dengan gemar membaca, (lama-lama syukur-syukur juga gemar menulis). Ya di samping membaca ayat-ayat qauliyah yang difirmankan Allah termaktub dalam al-Qur'an dan disabdakan oleh Radulullah termaktub dalam hadis, juga membaca ayat-ayat kauniyah yang dibentangkan di altar semesta.

Ketiga, mengamalkan ilmu. Ilmu yang sudah diketahui, tetutama yang menyangkut tentang amar, hendaknya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Keempat, rendah hati. Ya tahapan ini kira-kira kalau berfilsafat seperti padi: semakin berisi semakin sujud pada Ilahi. Tentu, tidak atau dihindari seperti tong kosong, yang sering kali banyak bunyinya, meski tak dipukul sekalipun.

Kelima, mewariskan ilmu. Ilmu itu sejatinya milik Allah, tetapi juga ditetapkanNya sebagai hak bagi bagi hamba-hambaNya yang mau menjemputnya. Maka hendaknya ilmu dapat diwariskan oleh antar generasi agar manusia tetap bermakrifah mengenali diri dan mengena Ilahi, sebagai pemiliknya yang sejati. Dengan makrifah ini akhirnya akan memengaruhi kedekatan relasi interaksi dan komunikasi dengan Ilahi Rabby. Semoga kita cinta pada Ilmu. Aamiin ya Mujib al-Sailin


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama