Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 4 Rabiul Akhir 1444
Cinta pada Anak
Saudaraku, seperti telah selalu diingatkan bahwa muara segala rasa cinta adalah Allah ta'ala. Oleh karenanya cinta kepada diri sendiri, orangtua dan pasangan kita sebagaimana muhasabah yang baru lalu dan cinta pada anak sebagaimana judul muhasabah hari ini mustinya juga dalam rangka mencintai Allah ta'ala.
Apakah dengan begitu akan berpotensi mengurangi cinta kita kepada diri, orangtua, pasangan dan anak kita? Tentu tidak. Itulah istimewanya cinta kepada Allah. Jadi cinta kita kepada Allah justru akan berbanding lurus dengan cinta kita kepada diri, orangtua, pasangan dan anak kita. Begitu juga sebaliknya. Bila cinta kita kepada diri, orangtua, pasangan dan anak kita dilakukan secara benar, maka muaranya juga pada Allah. Jadi cinta anak musti benar.
Lazimnya pasca pernikahan ketika bahtera keluarga mulai mengarungi luasnya samudera kehidupan, keinginan akan kehadiran anak adalah dambaan insan sebagai tuntutan keniscayaan. Namun anugrah anak tetaplah menjadi misteri atas ketetapan Allah atas hamba-hambaNya. Ada keluarga baru yang segera dianugrahi anak, tetapi juga ada yang lama atau bahkan belum juga dikaruniai anak meskipun telah berusaha ke sana kemari. Oleh karenanya suami istri musti terus memperbanyak berdoa dan berusaha untuk meraih keridhaanNya.
Saat anugrah anak menjadi nyata terdapat serangkaian prosesi 'pendidikan' yang lazim dilakukan oleh keluarga muslim. Inilah di antara wujud kecintaan kepada anak.
Pertama, mengimani bahwa anak adalah anugrah sekaligus amanah dari Allah. Dikatakan anugrah karena dengan kehadiran anak maka sejuta harapan kebahagiaan bisa digantungkan padanya. Bila cita cinta mulia orangtua belum terealisasi seratus persen sesuai harapannya, maka dapat dilanjutkan oleh putra putrinya untuk menyempurnakan kebahagiaannya. Dikatakan amanah karena anak adalah cerminan orangtuanya; bagaimana anak begitulah orangtuanya; bagaimana orangtua begitulah anaknya. Oleh karenanya orangtua harus baik agar anaknya menjadi orang baik. Dan anak harus dididik dengan bijak agar menjadi wasilah bagi orangtuanya bahagia di surga.
Kedua, memperbanyak rasa syukur, mengucapkan alhamdulillah karena dengan kehadiran anak-anak di tengah-tengah kehidupan berkeluarga, suasana menjadi hidup, ceria dan bahagia. Tangisan bayi, canda tawa anak, berhamburnya mainan, dan nyanyi-nyanyian indah merupakan suasana didambakan oleh banyak keluarga.
Ketiga, mendoakan anak. Inilah langkah konkret kecintaan kepada anak.Kehadiran anak dalam kehidupan berkeluarga benar-benar harus disyukuri, diasuh dididik dan didoakan akan kebaikannya. Ya, kita mendoakan kebaikan atasnya pada setiap saat terbaiknya, terutama saat usai shalat fardhlu, shalat malam, shalat dhuha, di antara dua kutbah jum'at dan saat mustajabah doa lainnya.
Keempat, menyelenggarakan akikah atasnya secara bersahaja. Di antaranya menyembelih kambing satu atau dua ekor buat anak perempuan atau laki-laki, lalu memasaknya dan mengundang sanak saudara untuk menghadiri kenduri di hari ketujuh atau keempatbelas atau keduapuluh satu atau kapanpun di saat memiliki kemampuan.m untuk maksud yang sama.
Di samping melakukan pencicap dengan memberi rangsangan rasa di lidahnya dengan madu atau kurma atau sesuatu yang manis lainnya, dan mencukur rambut sibayi juga dilakukan penabalan nama yaitu pemberian nama ke anak yang baru saja lahir. Berbagai latar, kondisi atau cita cinta orangtua atas anaknya seringkali menjadi pertimbangan dalam penabalan sebuah nama. Hal ini memang niscaya karena dalam iman Islam, nama itu di antaranya menjadi doa.
Dalam konteks bahwa nama itu menjadi doa itulah terdapat satu hal yang mengganggu pikiran saya dan mungkin juga anda bahkan kita semua.
Dalam realitas kehidupan, ternyata tidak sedikit saudara-saudara kita yang diberi dan menyandang nama-nama yang ketika dipanggil menjadi dilema. Sebagai gambaran ada nama-nama seperti topan, badai, guntur, gerhana, geledek, gempa, banjir, halilintar, ribut, gendeng, bodo, tornado, katerina, tsunami atau nama suatu bencana lainnya (yang biasanya enak didengar). Ini kan dilematis?
Coba bayangkan saat kita menyebut atau memanggil anak atau orang yang nama-namanya semisal itu, ya syukurlah kalau yang menyahut dan yang datang adalah orang yang menyandang nama itu, tetapi kalau yang datang adalah substansinya, hayo bagaimana??? Kita harus ingat bahwa nama itu doa dan doa itu permintaan. Coba ada yang panggil seseorang yang namanya itu, Banjir ke sini ya! Halilintar datang ke sekolah ya? Badai ke sini! Tsunami datang lagi ya! Ngeri kan? Oleh karenanya kita dituntun untuk memberi nama anak dengan nama-nama yang baik, dan di saat disebut menjadi doa.
Kelima, mengasuh dan mendidik putra putri dengan sepenuh hati. Ranah akidah, akhlaqul karimah, ibadah mahdhah praktis sudah harus diwariskan sedikit demi sedikit sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak (baca surat Luqman 12-1). Mengapa harus diwariskan melalui pendidikan? Ya, karena ranah akidah, akhlaqul karimah, dan ibadah itu tidak diturunkan secara genetik seperti golongan darah, kulit puti, hidung mancung. Maka akidah, akhlakul karimah, ibadah harus dididikkan dan dibiasakan sejak sedini mungkin.
Keenam, memberi keteladanan dalam seluruh aspek kehidupan, seperti saat beraktivitas akan tidur, posisi tidur, bangun tidur, melakukan kegiatan rutinitas harian, sikap, bicara, berperilaku, bekerja, berlalu lintas dan seterusnya. Kita harus ingat bahwa perilaku kuta, tutur kata, sikap, gaya dan diamnya kita menjadi rujukan anak-anak kita.
Ketujuh, membiasakan kebersihan dan kebaikan serta menaati syariat sejak sedari kecil. Misalnya memperkenal busana muslim bagi anak laki-laki, busana muslimah bagi anak perempuan, membiasakan ambil air wudhuk, shalat, mengaji baca Qur'an, tulis baca hitung, bersedekah, puasa dan berperilaku sopan pada saatnya yang sesuai bagi masing-masing.
Kedelapan, memberinya kesadaran dan tanggungjawab, baik sebagai seorang anak, anggota masyarakat, warga negara maupun sebagai pemeluk Islam yang setia. Hal ini penting agar anak cerdas bersikap di manapun, kapanpun dan dengan siapapun.
Kesembilan, menikahkan anak bila waktunya tiba. Kita harus ingat bahwa Islam tidak mengenal pacaran, tetapi mensyariatkan ta'aruf, kitbah atau meminang, dan nikah. Untuk ini, betapa petingnya penguatan rabah akidah, akhlak dan ibadah anak, sehingga kontrol diri menjadi kuat. Apalagi ditopang oleh kontrol orangtua dan kontrol sosial masyarakat sehingga tidak terjadi hal-hal yang tak etis seperti pergaulan bebas, perzinahan, pelecehan seksual dan perilaku tercela lainnya.
Begitulah di antara ikhtiar yang dapat dilakukan oleh orangtua dalam menumpahkan cinta kasihnya pada anak-anak, putra putri tercinta. Semoga kita dianugrahi cinta. Aamiin ya Mujib al-Sailin
Tags:
Muhasabah Harian