Muhasabah 19 Muharam 1444/17 Agustus 2022
Alarm Proklamasi
Saudaraku, 77 tahun yang lalu, tepatnya pada 17 Agustus 1945 Soekarno - Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia mengumumkan kemerdekaan bangsa ini. Dalam catatan sejarah, peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Proklamasi RI. Maka secara kontekstual muhasabah hari ini kemudian Lontuan racik di bawah judul alarm proklamasi.
Mengapa alarm proklamasi kali ini perlu dibunyikan lagi? Ya, agar semua kita anak bangsa ini bangun; agar setiap komponen bangsa ini ingat dan menyadari betapa pentingnya proklamasi kemerdekaan. Ia sebagai "syahadat" atau ikrar berdirinya negara dan bangsa Indonesia secara mandiri. Tidak mudah memperoleh pengakuan dari negera-negara di dunia, betapa tak ternilainya pengorbanan saat berjuang meraihnya. Mesir menjadi negara pertama dan diikuti oleh negera lain mengakui kemerdekaan dan keberadaan negara Indonesia sebagaimana negara-negara lain yang telah eksis sebelumnya.
Sangat penting, bukan? Apalagi kini kita masih memaknai hijrah Nabi dan para sahabat 1444 yang lalu. Dan di antara pesan inti hijrah yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat adalah ikhtiar memerdekakan diri dari pengaruh destruktif yang mengancam jiwa, agama, akal, keluarga, dan harta. Dalam sejarahnya, saat meraih dan mempertahankan kemerdekaan ini betapa banyak pengurbanan dicurahkan.
Nah, bagaimana kontekstualisasi hijrah, pengorbanan dan kemerdekaan hari ini? Kita sebagai anak bangsa, sejatinya ajaran berhijrah dan berkorban telah mensejarah, dibuktikan oleh para leluhur bangsa, para endatu kita sejak dahulu kala. Ajaran berkorban bahkan terus teruji sepanjang sejarahnya, bahkan saat masa-masa penjajahan, baik penjajahan Belanda maupun Jepang atas negeri ini.
Tidak hanya harta benda, segenap bangsa ini telah mengorbankan pikiran, jiwa raganya dan segalanya untuk membebaskan negeri dari belenggu penjajahan. Sudah tidak bisa dihitung lagi berapa juta nyawa melayang, darah para syuhada tertumpah atau ditumpahkan, harta benda dikorbankan untuk meraih kemerdekaan negeri ini.
Dan alhamdulillah berkat rahmat Allah, bangsa kita dengan bangga memperoleh kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 yang bulan ini diperingati hari ulang tahunnya yang ke-77, Dirgahayu Republik Indonesia, dirgahayu bangsaku. Kita berdoa, semoga para pahlawan dan pendiri bangsa yang sudah berpulang ke haribaanNya semuanya husnul khatimah, syahid, menjadi ahli surga dan kita dianugrahi hidayah dan inayahNya untuk mensyukuri kemerdekaan sembari mengisinya.
Kini memang sudah 77 tahun bangsa ini merdeka, sudah dan akan senantiasa diapresiasi dan disyukuri oleh segenap anak bangsa dengan berbagai-bagai cara, sejak sujud syukur ke atas Allah Rabbuna, mengikuti pelaksanaan ritual upacara bendera, gelar lomba tujuhbelas agustusan, sampai upaya substantif membangun negeri tanpa henti.
Meski demikian harus terus introspeksi dan muhasabah, sudah seberapa kita mengapresiasi atau dalam bahasa agama mensyukuri kemerdekaan bangsa ini dengan melihat seberapa dan dengan cara apa mengisinya. Tentu harus proporsional sesuai dengan peran, tugas pokok dan fungsi kita masing-masing. Ada tupoksi yang menjadi ranah negara atau pemerintah dan seluruh menteri kabinet serta keraninya dari hulu hingga hilir; ada ranah bagi masing-masing keluarga bahkan pribadi sebagai bagian anak bangsa ini.
Masing-masing pihak layak bertanya, di usia 77 tahun NKRI ini benarkah sudah benar-benar merdeka? Bila sudah, lalu bagaimana memaknainya? Bila merdeka dimaknai terbebas dari penjajahan teritorial atas bangsa penjajah, maka jawabannya jelas sudah. Karena Belanda dan Jepang sudah tidak menjajah negeri ini lagi. Bila merdeka dimaknai bebas dari inteirvensi asing (termasuk juga aseng), maka apakah bangsa dan negara ini sudah benar merdeka? Siapakah yang berani memproklamasikan hal ini? Jangan-jangan jawabannya belum (belum sepenuhnya).
Bila merdeka dimaknai terlepas dari hutang luar negeri, maka apakah bangsa dan negara ini sudah benar-benar merdeka? Siapakah yang berani memproklamasikan hal ini? Jawabannya... belum sama sekali, bukan?
Lalu bagaimana bidang pendidikan, perekonomian, budaya, hukum negara dan bangsa ini, apa sudah merdeka terbebas dari kolonialisme gaya baru? Siapa yang berani memproklamasikan semua ini? Nah, kiblat semua itu ke mana? Dan seterusnya.
Begitulah saudaraku, banyak sekali pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan retorika saja tetapi dengan terus hijrah, jihad dan berkorban untuk memperbaikinya sekaligus mengisi kemerdekaan bangsa. Dan tentu juga berdoa, semoga bangsa dan negara kita ini benar-benar merdeka dan kita dapat mensyukurinya.
Nah, bila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita sudah merdeka 77 tahun lamanya, lalu bagaimana dalam kehidupan spiritual keberagamaan kita? Apalagi bagi segenerasi lontuan atau di atasnya yang sudah setengah abad lebih usianya Sekali lagi merdeka adalah mandiri dan terbebas dari dominasi atau intervensi asing yang destruktif (merusak) dan despostif (mengekang).
Sudahkah masing-masing pribadi kita merdeka? Syahadatain yang kita baca atau ikrar di setiap shalat yang kita kukuhkan di awal kaifiyatnya, apa sudah mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari? Saatnya melakukan muhasabah. Karena musuh-musuh kita terutama setan dan hawa nafsu datang dari berbagai-bagai arah, atau bisa jadi kini sudah menjajah atau sedang berusaha menguasai diri kita.
أَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيۡهِ وَكِيلًا ٤٣
“Sudahkah Engkau (wahai Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu akan menjadi pelindungnya? (Q.S Al-Furqan [25]: 43)
Betapa banyak di antara kita yang sudah berhasil memproklamirkan kemerdekaan jiwanya dari intervensi setan dan nafsu yang ingin marasuk lalu merusak dan mengekangnya, sehingga perilakunyapun selalu mengikuti kata hati nuraninya; rezeki, ilmu dan hidupnya berkah memberkahi. Inilah pribadi yang kehadirannya dinanti-nanti, figur yang perilakunya dapat diteladani, sosok yang kepergiannya dikenang, sampai matinya pun ditangisi.
Agar menjadi pribadi yang merdeka tentu diperlukan hijrah yang terus menerus, jihad tanpa henti atau bahkan pengorbanan yang bisa jadi panjang sebagaimana halnya perjuangan menjadi bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Banyaknya cerita tentang pribadi-pribadi kalah dan yang terjajah, biarlah menjadi agenda utama mading-mading diri untuk segera berbenah mengatasi lemahnya benteng pertahanan diri, utamanya sisi keimanan dan pendidikan kita.
Kemerdekaan pribadi yang sudah diraih kita buktikan dengan pengukuhannya dalam berkehendak, berniat, berpikir dan bertindak, sehingga membawa kemaslahatan baik untuk diri dan keluarga maupun sesama anak bangsa. Semoga. Aamiin ya Mujib al-Sailin
Tags:
Muhasabah Harian