Keberkahan Gladi Takwa

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 28 Syakban 1443

Keberkahan Gladi Takwa
Saudaraku, ikhlas yang menjadi ruhnya amal sebagaimana telah diingatkan dalam muhasabah yang baru lalu hanya dapat direngkuh oleh orang-orang yang khasyyah, yakni orang-orang yang hatinya takut akan keagungan Allah. Takut seperti ini melahirkan ketaatan pasa Allah yang dalam bahasa agama dikenal dengan takwa. Inilah yang melatari muhasabah hari ini sehingga diracik di bawah judul keberkahan gladi takwa. Apalagi, semua aktivitas hamba sejak berniat, berpikir, mencari kebenaran, berdzikir dan berikhtiar menjadi lebih baik merupakan satu kesatuan sistemik terjalin berkelindan dengan ketakwaannya.

Nah, makanya ketakwaan ini sangat penting, karena menjadi di antara penanda inti dari keimanan seorang hamba. Dan keimanan pada giliraannya menjadi modal yang melekat seorang hamba sehingga dengannya thalab atau tuntutan berpuasa Ramadhan menjadi relevan. Inilah mengapa setelah shiyamu wa qiyamu ramadhan akan lahir orang baru dan terbarukan; orang cerah dan tercerahkan karena peningkatan kualitas ketakwaannya (baca 2:183).

Seandainya kita mengikuti kelaziman pemaknaannya, maka yang pertama kata takwa dimaknai takut (takwa-takut). Jadi takwa kepada Allah berarti takut kepada Allah. Bagi orang-orang yang beriman pada umumnya telah bertakwa kepada Allah. Artinya, takut kepada Allah lantaran siksaanNya amat pedih dan atau karena balasan nerakaNya nyata. Dalam konteks ini takut dikenal terma al-khauf. Bila dikatakan ada konsep khauf wa raja’ berarti takut kalau-kalau amalnya tidak diterima atau kurang dalam pandangan Allah, sedangkan raja’ bermakna berharap agar Allah mengampuninya atau merahmatinya.

Adapun takwa dalam makna takut lantaran faktor kesempurnaan dan keagungan Allah ta’ala digunakan istilah khasyyah seperti yang telah disebut di muqaddimah. Perasaan takut seperti ini hanya dimiliki oleh para ulama. Allah berfirman yang artinya, Sesungguhnya yang takut (khasyyah) kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.(Qs. Fatir 28)

Dari dua pemaknaan takut, yakni khauf dan khasyyah, maka kemudian melahirkan sikap taat kepada Allah. Nah bagaimana ketaatan kita? Inilah pertanyaan muhasabahnya  Selama ini apakah masih dalam tataran taat lantaran takut akan siksaanNya? Bila takwa, khauf atau takut seperti ini, maka Allah dipersepsikan sebagai zat yang harus kita takuti dan kita taati titahNya. Maka segala ibadah yang kita lakukan dan larangan yang kita jauhi bertujuan agar dapat meraih surga dan terhindar dari neraka.

Apakah sudah takwa, khasyyah, takut lantaran kemahaagungan dan kemahasempurnaan Allah? Bila sudah sampai pada maqam khasyyah seperti ini, maka Allah kita persepsikan sebagai zat yang layak dicintai. Maka segala ibadah yang kita lakukan dan larangan yang kita jauhi karena rasa cinta kita kepadaNya saja.

Makna kedua dari kata takwa adalah hati-hati. Makna takwa seperti ini setidaknya ibrah dari sebuah riwayat seperti yang dikutip Republika.co.id menukuil percakapan indah dua sahabat Umar bin Khattab ra dan Ubay bin Ka’ab ini. Umar yang meriwayatkan atsar ini bertanya kepada Ubay, “Wahai Ubay, apa makna takwa?” Ubay yang ditanya justru balik bertanya. “Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?” Umar menjawab, “Tentu saja pernah.” “Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?” lanjut Ubay bertanya. “Tentu saja aku akan berjalan hati-hati,” jawab Umar. Ubay lantas berkata, “Itulah hakikat takwa.”

Percakapan yang sarat pelajaran. Bukan hanya bagi Umar dan Ubay, melainkan juga bagi kita. Menjadi orang bertakwa hakikatnya menjadi orang yang amat berhati-hati. Ia tidak ingin kakinya menginjak duri-duri larangan Allah swt. Jalan yang penuh duri dalam riwayat di atas dapat dipahami secara harfiah apa adanya seperti yang digambarkan dalam cerita, tetapi juga dapat dipahami secara majazi dan substantif. Secara substantif, jalan dipahami aturan agama yang tidak hanya berisi hal-hal yang halal dan mubah saja tetapi juga berisi hal-hal yang haram, makruh dan subhat yang sering sekali menggelicirkan atau mencelakakan manusia.

Di samping itu, jalan yang penuh duri juga bisa dipahami sebagai dunia yang sekarang kita huni ini di mana terdapat banyak bahaya, rintangan, godaan dan ranjau-ranjau yang siap meledak menghancur-luluh- lantakkan. Oleh karenanya diperlukan sikap kehati-hatian saat melintasi atau mengarungi hidup di dalamnya.
Dengan demikian berhati-hati sejatinya adalah karakteristik inti dari takwa. Berhati-hati dalam hidup dan kehidupan dilakukan dengan mematuhi aturan, baik aturan yang diturunkan oleh Allah maupun aturan yang dibuat/disepakati oleh manusia. Cara berhati-hati adalah mengerjakan yang disuruh oleh Allah dan menjauhi laranganNya. Dengan berhati-hati, kita akan selamat dunia sampai akhirat, terhindar dari marabahaya dan jauh dari derita kesengsaraan.
Wasiat untuk berhati-hati dalam setiap aktivitas akan mengantarkan kita pada kesuksesan dan keselamatan. Dengan pesan berhati-hati saja sejatinya di dalamnya sudah mengakomodir “jaga hatinya ya”,, “jaga sikapnya ya”, “jaga shalatnya ya”, “jaga tilawah al-Qur’an ya”, “jaga shalat lail ya”, “jaga shalat dhuhanya ya”, “jaga diri dan kehormatan ya”, “jaga prestasinya ya”, “jaga akhlaknya ya”, “jaga silaturahimnya ya”, jaga ukhuwahnya ya”, dan seterusnya.

Baik takwa dimaknai dengan khauf, khasyyah, takut maupun hati-hati dan waspada, semuanya bermuara pada ketaatan pada Allah. Nah inilah takwa, takut dan taat pada Ilahi harus terpatri di hati sampai dibawa mati. Ooeh karenanta selagi masih di sini apalagi Ramadhan sudah menanti, maka ketakwaan mesti digladi akan kesiapannya, dengan harapan menjadi di antara modal, yang dengan modal itu kita akan menuai keberkahan unlimited dari ketakwaan yang terbarujan di ujung Ramadhan. Aamiin ya Mujibassailin

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama